Langit sore berubah kelabu saat Aqil duduk di pinggir sungai, membawa kail buatan sendiri dari ranting dan tali bekas. Ia hanya berniat menangkap ikan buat makan malam. Angin tiba-tiba berembus aneh. Dingin. Terlalu dingin untuk bulan April di desanya.
"Apa-apaan, ini?" gumam Aqil, berdiri dan menatap awan yang menggulung seperti pusaran. Daun-daun beterbangan, burung-burung berhamburan keluar dari semak. Alam seperti memberinya tanda, tapi Aqil telanjur berdiri di ujung batu besar yang licin.
Seketika, air sungai mendidih. Bukan panas, tapi seperti berdesir ke arah berlawanan. Suara derasnya berubah seperti bisikan. Tanpa sempat berpikir, kaki Aqil terpeleset. Ia terjatuh. Tapi bukan ke air.
Ia jatuh … ke hampa. Dunia di sekelilingnya berputar, langit hilang, suara menghilang, tubuhnya melayang dalam ruang yang tak dikenalnya. Sepersekian detik yang terasa seperti selamanya.
Saat terbangun, tanah di bawah tubuhnya dingin, dipenuhi lumut dan bebatuan hitam. Suara burung tak dikenal menggema di antara pepohonan tinggi. Langit di atasnya bukan kelabu, tapi jingga dengan dua matahari kecil yang redup seperti lentera tua.
"Ini ... bukan sungai," desisnya, panik.
Ia bangkit perlahan, tubuhnya masih lemas. Pandangannya menangkap sebuah benda kecil bersinar di tanah — sebuah kompas. Tapi anehnya, jarumnya tidak menunjuk ke utara. Kompas itu ... menunjuk ke arah Aqil sendiri, seolah-olah ia adalah pusat dunia ini.
Aqil mengambil kompas itu. Jarumnya berputar pelan, lalu berhenti. Namun, ketika ia melangkah ke arah berlawanan, jarumnya mulai bergetar dan menyala merah.
“Apa aku lagi mimpi?” gumamnya, mengusap wajah dengan tangan gemetar. Ia mencoba tertawa, tapi hanya udara dingin yang keluar dari mulutnya.
Ia mulai berjalan mengikuti arah jarum. Tanah di bawahnya berkerikil licin, dan udara semakin aneh. Hutan ini tak seperti hutan manapun yang ia kenal. Pohon-pohon menjulang tinggi dengan daun berbentuk segitiga dan berwarna biru keunguan. Cahaya dari langit jingga menyusup lewat celah-celah kecil di antara dahan.