Langkah Aqil terhenti di depan sebuah tebing landai yang dipenuhi akar-akar pohon mencuat dari tanah. Di kejauhan, menara itu menjulang—tinggi, asing, dan memantulkan cahaya dengan cara yang tidak wajar. Permukaannya tersusun dari pecahan cermin yang retak, menyatu dengan akar besar yang membelit dinding-dindingnya seolah tumbuh dari tanah dan langit sekaligus.
Kompas di tangan Aqil terus bersinar. Jarumnya bergerak pelan setiap kali ia melangkah lebih dekat, seakan menegaskan bahwa menara itulah tujuan.
Namun, ada sesuatu yang membuat lehernya kaku. Cermin-cermin di menara itu … memantulkan bayangannya—tapi bukan dirinya. Ia melihat sosok-sosok lain. Dirinya dalam versi yang lebih tua, lebih muda, lebih gelap, lebih asing. Salah satu refleksi bahkan menangis sambil menatap Aqil.
"Apa ... ini semua bagian dari aku?" bisiknya, ngeri.
Saat mendekati dasar menara, akar-akar itu mulai membuka seperti pintu. Tanpa disentuh, sebuah celah terbentuk—seperti undangan yang tak bisa ditolak. Di dalamnya, cahaya kehijauan berdenyut pelan. Ada aroma tanah basah bercampur logam, dan hawa di sekitarnya perlahan berubah menjadi sunyi, seakan suara dunia tertelan oleh sesuatu yang tak terlihat.
Masuklah. Tak semua luka bisa sembuh jika tetap kau hindari …
Suara itu lirih, muncul dari balik akar. Aqil tak tahu dari mana asalnya, tapi ia tak bisa berpaling. Kakinya melangkah sendiri, menembus lorong akar dan cermin.
Di dalam menara, dindingnya tidak tetap. Cermin-cermin berputar, membentuk tangga, lalu berubah menjadi jendela, lalu menjadi dinding lagi. Wajah-wajah terus muncul dari pantulan—beberapa tersenyum, sebagian marah, sebagian ... kosong.