Dalam sebuah rapat internal yang tegang, Darel merasa darahnya mendidih saat Marvel, bosnya, melontarkan kemarahan tanpa ampun. Suara Marvel menggema di ruangan, menyoroti setiap kesalahan yang Darel lakukan.
“Pak Darel! Apa yang terjadi dengan laporan ini? Ini tidak sesuai dengan yang kita diskusikan!!” teriak Marvel, wajahnya merah padam. “Anda seharusnya lebih teliti!”
Darel hanya diam, berusaha menahan emosinya, merasakan rasa malu dan frustrasi menyelimuti dirinya. Dia merasa menyesal karena terburu-buru mengumpulkan laporan yang dia terima dari Nimal, tanpa memeriksa atau mempertimbangkan dengan saksama.
Setelah rapat berakhir, Darel menghela napas panjang dan beranjak dari kursinya. Nimal, yang mendengar kabar tentang Darel yang habis dimarahi, segera mendatangi. Dia merasa sangat bersalah.
“Eh,” seru Darel menyadari kehadiran Nimal. Wajahnya masih sangat kusut.
Nimal menghampiri Darel dengan cepat, wajahnya penuh penyesalan. “Rel, gue minta maaf,” ucap Nimal tulus, suaranya bergetar. “Harusnya gue yang dimarahi Pak Marvel, gue yang salah. Gue pake data yang salah.”
Darel mengangkat bahunya, “Udahlah, gue juga salah karena nggak ngecek data dari lo. Tapi langsung gue kumpulin,” kata Darel tak peduli, toh dia sudah telanjur dimarahi abis-abisan.
“Eh, nggak bisa gitu,” ucap Nimal, tangannya tiba-tiba menahan lengan Darel. Membuat laki-laki itu terkejut. “Lo dimarahin gara-gara gue, Rel. Gue Harusnya minta maaf di depan forum, atau kalo nggak gue samperin para bos kita satu-satu. Gue bakal jelasin kalo itu salah gue,” kata Nimal sungguh-sungguh.
Darel menatap Nimal, terkejut oleh ketulusan dalam nada suaranya. “Udahlah, nggak papa. Lo bantuin gue aja buat benerin, ya.”
“Beneran nggak papa?”
“Iya, beneran. Toh abis ini paling juga biasa lagi, kan.”
“Tapi thank you, ya. Udah peduli sama apa yang gue rasain. Kalo bener aja, boro-boro diapresiasi, yang ada kerjaan gue diklaim jadi kerjaan mereka. Giliran salah aja, gue langsung diserang abis-abisan. Anjir,” umpat Darel, tersenyum kecut.
Nimal menatap Darel, memahami. Tanpa sadar tangannya mengusap pundak Darel untuk menguatkan. Membuat jantung laki-laki itu tak karuan, untuk pertama kali dia membiarkan seorang wanita selain Tia berlaku begitu pada dirinya.
“Gue kelarin kerjaan ya, sekali lagi thanks udah jadi malaikat pelindung keren buat gue.”
Darel mengangguk, tersenyum. Lagi-lagi merasa senang dengan kalimat yang dilontarkan Nimal.
Mata Darel masih mengikuti langkah Nimal hingga ke meja kerjanya, wajahnya salah tingkah. Apa katanya tadi? Malaikat pelindung?
***
Senin sore, suasana ceria tergambar di rumah Tia karena gelak tawa Princess dan Ratu. Awal pekan menjadi hari yang melelahkan untuk Tia. Sebab Darel tak ada di sampingnya. Wanita itu harus mengerjakan semua pekerjaan seorang diri, tanpa suami yang selama ini selalu membersamai.
Terlebih aktivitas kedua putrinya yang makin banyak, sungguh melelahkan rasanya. Namun wanita yang bekerja sebagai guru sekaligus penulis itu seolah sudah terbiasa dengan rutinitas yang harus dia jalani. Satu-satunya yang tidak biasa bagi Tia adalah tanpa kehadiran Darel setiap weekend, padahal ini bukan yang pertama suaminya tidak pulang.
Tia mengempaskan tubuhnya di sofa. Lelah. Pakaian kerja masih melekat di tubuhnya. Pikirannya berkelana, lebih lelah membayangkan segala hal yang mungkin sedang terjadi dengan rumah tangganya. Matanya terpejam, bayangan perubahan sikap Darel muncul. Darel yang semakin sibuk dengan dunianya, dunia yang tidak terbayangkan oleh Tia.
“Mama capek?” Princess memeluk Tia.
Tia membuka mata terkejut, membalas memeluk putri bungsunya.
“Enggak, cuma pengen duduk sebentar,” Tia tersenyum lemah
“Mama istirahat aja ya, Kakak bantu kerjakan yang lain,” Ratu ikut memeluk Tia.
“Iya, Adek juga mau bantu!” seru Princess tak mau kalah.
Mata lelah Tia berembun, terharu dengan sikap kedua putrinya yang teramat manis. Setelah meminta kedua putrinya membereskan mainan, Tia berjalan ke kamar mandi dengan langkah gontai. Mencoba mengumpulkan sisa-sisa energinya. Berdamai dengan segala keadaan yang sedang dijalaninya. Air mata Tia tumpah seiring dengan guyuran air di kamar mandi, dia terisak. Tidak lagi bisa menyembunyikan luka di hatinya.
“Lagi-lagi, akhir pekan kemarin tanpamu. Dan aku bisa melewati walau dengan rasa tidak karuan.” Tia bermonolog di depan cermin, mengusap kantung matanya. Hatinya terasa berat mengingat Darel yang makin jarang pulang ke rumah saat weekend. Dengan alasan pekerjaannya yang makin banyak, tentu saja.
Setelah mandi dan bersiap-siap, Tia kembali ke ruang keluarga. Tubuhnya kini terasa lebih segar. Hatinya sedikit lega setelah menangis di kamar mandi, menumpahkan segala kecewa yang tidak bisa diceritakan pada kedua anaknya.
“Hari ini Kakak sama Adik les kan, ya?” tanya Tia.
Ratu mengangguk, “Mama jemput atau Onti?” tanya Ratu kemudian. Sebab biasanya Rani, adik Tia, sesekali datang untuk mereka.
“Mama saja,” jawab Tia cepat. Tak ingin merepotkan adiknya.