Masa liburan sekolah tiba. Itu artinya Tia memiliki beberapa hari libur karena beberapa guru dibuat jadwal piket masuk secara bergantian. Hubungan Tia dan Darel belum membaik. Banyak perubahan dari sikap Darel yang mengundang kecurigaan. Namun meskipun begitu, pada liburan ini Tia tetap ingin pergi ke Jakarta untuk menemani Darel.
Sejauh ini Tia tetap berbaik sangka pada Darel, bahwa suaminya dan Nimal hanyalah teman kerja saja. Walaupun keraguan menyelimuti hatinya yang paling dalam. Tidak ada bukti yang benar-benar nyata bahwa Darel dan Nimal menjalin hubungan. Tia tetap berperan sebagai istri yang menjalankan kewajibannya.
Keputusan itu diambilnya bukan hanya untuk menyelidiki lebih dalam, tetapi juga untuk menemani Darel yang kini semakin menjauh darinya. Sementara itu, Princess dan Ratu, kedua putrinya, pergi ke rumah neneknya di Semarang untuk menghabiskan waktu liburan.
“Aku ikut ya, Yah. Aku juga butuh liburan, loh.” Tia berusaha bersikap seolah memang butuh liburan.
Darel meletakkan ponsel, menatap Tia lekat. Tidak ada alasan dia menolak keinginan Tia, karena selama ini, jika waktu liburan semester tiba. Tia memang selalu ke Jakarta, menemani dirinya.
“Kamu akan bosen loh sendirian, soalnya aku nggak libur.” Darel mencoba memberi alasan.
“Kan biasanya juga sendirian.” Tia bersandar di sisi pintu.
“Iya, cuma sekarang ini sedang banyak banget proyek baru. Takutnya aku lembur dan nggak bisa nemenin kamu jalan-jalan.”
“Aku bisa kan bisa naik taksi online kalau mau ke mana-mana. Kayak pas aku meet up sama Eva itu. Lagian semisal Ayah lembur juga kan nggak tiap hari.”
“Hmmm …,”
“Kamu ada agenda lain, ya? Atau mungkin aku mengganggu?” potong Tia.
“Eh.” Darel tergagap.
Darel cemas karena dia tahu kebiasaan Tia yang selalu membereskan apartemennya. Sebab di apartemen Darel, kini bukan hanya berisi barang miliknya. Barang pribadi Nimal ada di semua sudut apartemennya. Apalagi jika Tia meminta untuk ditemani jalan-jalan, makan bakso favoritnya, atau sekadar nonton konser di Pekan Raya Jakarta. Tentu itu akan mengganggu waktunya selama bersama Nimal.
Sesungguhnya Darel keberatan dengan permintaan Tia. Namun dia tak memiliki alasan yang masuk akal untuk menolak keinginan itu. Bagaimanapun, Tia istri sahnya.
“Lagian sekarang ini, weekend pun kamu jarang pulang, atau mungkin kalau cuti juga nggak pulang?”
Darel tergagap, seolah tersindir kenyataan. Menghindari perdebatan, akhirnya Darel menyerah. Isi kepalanya penuh rencana, bagaimana mengatur kebersamaan dengan Nimal dengan alasan lembur atau ada perjalanan dinas ke kantor lain.
Perdebatan berakhir dengan rencana berbeda dari keduanya, Darel yang mulai sibuk menyusun rencana kebersamaannya bersama Nimal. Mencari alasan pada Tia, bahwa dia lembur atau dinas ke kantor klien. Sedangkan Tia, yang tadinya tetap berbaik sangka. Hatinya semakin dipenuhi keraguan karena penolakan Darel dengan berbagai alasan yang terkesan mengada-ada. Insting penulis wanita itu memberikan keyakinan, bahwa dia harus ikut ke Jakarta. Mengumpulkan semua bukti atau minimal melihat kehidupan suaminya selama beberapa bulan terakhir.
Malam sebelum keberangkatan, Tia membereskan barang-barang. Memasukan beberapa baju dan keperluannya selama di Jakarta. Darel yang sibuk dengan ponsel, akhirnya penasaran dengan kesibukan Tia.
“Nggak usah bawa baju banyak-banyak, emang mau lama-lama di sana?” Darel melongok dari pintu kamar.
Tia berhenti memilih baju, menoleh pada Darel. Keduanya bertatapan tanpa bicara.
‘Kenapa kamu harus ikut ke Jakarta?’ protes Darel dalam hati.
‘Semakin kamu keberatan, tekadku semakin kuat.’ jawab Tia, juga dalam hati.
Ponsel Darel bergetar, memecah hening. Keduanya tergagap, Darel bergegas sibuk dengan ponselnya, Tia acuh tak acuh melanjutkan memilih baju. Malam panjang itu berlalu begitu saja, tanpa kejadian berarti. Hanya ada cicak di dinding yang penasaran, apa yang akan terjadi pada mereka nanti.
Hari keberangkatan pun tiba. Dalam perjalanan menuju Jakarta, Tia duduk di kursi penumpang dengan pikiran yang bergejolak. Namun, dia berusaha menenangkan dirinya dengan bersikap normal. Walaupun sesekali bayangan perselingkuhan Darel melintas di kepalanya.
“Barangku udah semua? Nggak ada yang ketinggalan?” Darel menoleh pada tumpukkan barang di bagasi.
“Sudah, ada yang ketinggalan …”
“Hah! Apa?” seru Darel.
“Banyak loh, ini kan di rumah. Kamu bukan mau pindahan, pasti banyak barang Ayah yang ketinggalan.” Tia menjawab asal sambil naik mobil.
“Oh.” Darel menurunkan volume suaranya, duduk di belakang kemudi.
“Sampe teriak gitu, keknya penting banget.”
Darel memilih tidak menjawab, takut salah bicara yang menyebabkan dirinya terjebak tidak sengaja. Tia duduk diam di sampingnya dengan hati dongkol. Darel yang tidak lemah lembut, kini bisa berteriak hanya karena takut barang yang tidak terlalu penting ketinggalan.
“Padahal kalau ketinggalan pun di rumah sendiri, bukannya di stasiun.” Tia masih bersungut dengan suara pelan.
Darel tetap tidak menjawab, dia tidak bisa membantah mencari pembelaan. Darel mengemudikan mobil dengan pikiran kacau, walau begitu lelaki itu terlihat tenang. Dia bisa mengendalikan diri dengan baik, berpura-pura tenang dalam menghadapi situasi. Sesekali Darel memeriksa ponselnya yang bergetar. Ekspresi wajah Darel tidak bisa disembunyikan ketika memeriksa notifikasi di ponselnya, semringah salah tingkah. Tia memilih pura-pura tidak tahu, walau hatinya sungguh membara membayangkan obrolan di dalam ponsel suaminya.
‘Siapa yang sibuk menghubunginya? Nimal atau ada wanita lain? Kenapa wajahnya bisa begitu bahagia?’ Kepala Tia penuh pertanyaan, pandangan matanya kosong ke depan.
Kendaraan yang ramai, suara klakson yang sesekali terdengar tidak membuat fokusnya terbagi. Ujung matanya sesekali melirik pantulan ponsel Darel yang menyala dari kaca pintu mobil.
“Eh, mobil ini ganti kaca film juga, ya? Perasaan makin gelap.”
Darel tidak menanggapi, lelaki itu tidak mendengar ucapan istrinya.
“Habis berapa di bengkel kemarin? Eh, ini kayaknya dimodif juga deh. Kenapa ngabisin duit buat begini. Kayak mobil anak muda aja. Mau dipamerin sama siapa sih emang?” Tia mengedarkan pandangan ke seluruh bagian dalam mobil.
Mobil terus bergerak, Tia melirik Darel yang tetap tidak merespon dirinya.
“Kamu nggak denger aku nanya?”
“Eh, apa?”
Tia mengatupkan bibir, dadanya sesak. Saat itulah ponsel Darel berdering, Darel secepat kilat menjawab panggilan itu. Sekilas Tia sempat membaca nama Nimal tertera di layar ponsel.
“Iya, baru masuk tol.” Darel menerima telepon.
‘Oh, tanya sampai mana ...' Tia memejamkan mata, menebak-nebak pertanyaan Nimal di ujung telepon.
Tia berusaha menguping, namun hanya suara Darel menjawab yang terdengar.
“He em … Tia ikut.”
‘Oh, bertanya sama siapa ...’
“Semoga lancar, mungkin jam 4 sore ini.”
‘Oh, tanya kapan sampai ...'
“Oke oke, nanti gue kabari.”
‘Oh, janji mau ngabarin ...’ Tia menghela napas berat, matanya tetap terpejam.
Darel menutup telepon, melirik istrinya yang terpejam.
Aman. Serunya riang dalam hati. Wajahnya semringah, telepon Nimal membuatnya lebih bahagia.
Dia tidak menduga, bahwa wanita di sampingnya hanya pura-pura tidur. Tia sedang berjuang menenangkan hatinya yang berantakan, sungguh perjalanan liburan yang tidak menyenangkan.
“Siapa yang nelpon?”
“Eh, Pak Marvel.” Darel tergagap, “Kirain kamu tidur.”
“Ini baru mau tidur.” Tia memperbaiki posisi bantal lehernya, “Kamu toh nggak perlu aku untuk teman ngobrol.”
Darel menoleh, keningnya berkerut. Apakah Tia tahu aku berbohong?
‘Bahkan kamu berani terang-tearangan berbohong di depan mataku. Apakah menurutmu, aku sebodoh dan sepolos itu?’ Tia menggigit bibirnya, setengah mati menahan tanya agar tidak keluar dari bibir.
Di rest area, Tia melihat Darel mengambil ponselnya, dan melangkah keluar. Dia berjalan di belakang mobil yang terparkir. Tia tahu Darel kembali menelepon seseorang. Nimalkah itu? Keluh hatinya. Ternyata melelahkan pura-pura tidak tahu apa-apa.
Di dalam mobil, sekali lagi Tia mengamati mobil yang sudah dimodifikasi oleh Darel. Kemarin Darel lama sekali di bengkel. Buang uang, buang waktu. Darel bahkan tidak sempat menghabiskan waktu sama Ratu dan Princess. Mengingat bahwa kedua putrinya pun terabaikan, amarah Tia memuncak. Namun, wanita itu tetap memilih diam, demi mengumpulkan barang bukti. Setelah menyimak obrolan suaminya di telepon tadi, kini hatinya tidak lagi ragu, bahwa wanita lain itu memang Nimal.
Meski dia tidak bisa mendengar percakapan mereka, ekspresi wajah Darel menjawab semua isi percakapannya. Darel berkali-kali tersenyum dan tergelak saat berbicara, tawa dan senyum yang pernah dirasakan Tia, wanita itu merasakan hatinya teriris. Bahkan, tawa itu pun tidak lagi untukku?
Tia sibuk memperbaiki hatinya remuk, sibuk menenangkan dari gejolak prasangka pada Darel yang sedang tertawa di belakang mobil. Menguatkan dirinya yang hancur berantakan dikhianati oleh lelaki paing dipercaya dalam hidupnya.
“Darel, lo yakin Tia nggak akan curiga?” tanya Nimal, suaranya bergetar di ujung telepon.
“Gue harap sih nggak. Dia cuma mau ngikut ke Jakarta,” jawab Darel, berusaha menenangkan. Sungguh dalam hati Darel, dia tidak ingin Nimal khawatir pada apa pun. Kebahagiaan Nimal kini menjadi prioritasnya.
“Terus barang-barang gue yang ada di apartemen lo gimana?” Nimal kembali bertanya dengan cemas.
“Nanti gue beresin dulu. Semoga dia nggak tahu.”
“Kalau dia tahu, semua ini bisa berantakan. Atau mungkin gue ambil cuti dulu kali ya, biar lo bisa fokus sama dia,” kata Nimal.
“Ya terserah lo, sih. Gitu juga nggak papa. Tapi gue pasti bakal kangen banget, gimana dong?”
“Wah, ini sih yang bikin gue cinta banget sama lo. Gila, ya. Padahal lo lagi sama istri sekarang!” seru Nimal. Hatinya berbunga.