Tia duduk di bangku kereta, jantungnya berdebar. Setiap detik terasa berat, mengingat semua yang telah terjadi. Bayangan Darel dan Nimal terus menghantui pikirannya. Dia berusaha menenangkan diri, tetapi rasa sakit itu masih menyelimuti hatinya.
“Andai aku bisa memutar waktu, aku tetap ingin menikah denganmu. Aku seolah bukan siapa-siapa tanpamu.”
Tia mengusap air mata yang membasahi pipinya, ucapan Darel setahun lalu terngiang. Ketika ibu Darel murka pada kesalahan kecil lelaki itu. Darel yang selama ini selalu salah di depan ibunya, Darel yang merasa tidak pernah dicintai. Segala kebaikan dan prestasi dia tunjukkan, namun sang ibu fokus pada kekurangan yang dimilikinya. Begitulah yang Darel rasakan selama ini.
“Cuma sama di depanmu aja aku bisa jadi diriku sendiri.”
Kereta melaju, lamunan Tia makin melanglang buana. Bayangan obrolan-obrolan kecil itu muncul memenuhi memori di kepalanya. Tia merasakan dadanya makin sesak, hatinya makin terluka.
‘Ke mana semua kalimat itu sekarang? Padahal bagiku, kamu adalah suami dan ayah anak-anakku yang sangat berharga. Kamu adalah duniaku!’ keluh hatinya pilu.
Perjalanan melelahkan itu akhirnya sampai tujuan, setibanya di Yogyakarta, Tia merasakan kelegaan yang mengalir dalam dirinya. Setidaknya, Jakarta yang telah begitu kejam pada pernikahannya, tidak lagi dihirup udaranya. Udara Jakarta seolah sudah ternoda cinta terlarang Darel dan Nimal. Tia menghubungi sahabatnya, Mira, untuk berbagi perasaan.
“Darel … dia selingkuh,” ucap Tia dengan suara bergetar saat berbicara di telepon.
“Allahu akbar Tia, are you ok?”
“I’m not.” Tia terisak, “Ini terlalu menyakitkan.”
“Aku nggak bisa bilang kamu harus sabar, karena kamulah yang paling tahu rasanya. Tapi kamu harus menjaga dirimu, menjaga hatimu, dan melanjutkan hidupmu.” Mira menghela napas, “ Apa rencana kamu selanjutnya?”
“Aku nggak tahu. Kamu tahu kan, selama ini aku capek banget sama rumah tanggaku. LDR 9 tahun, banyak banget yang aku handle sendirian. Terus sekarang aku malah dikhianati. Aku capek banget buat ngapa-ngapain,” jawab Tia sambil terus terisak-isak.
"Iya, sih. Lagian Darel kenapa, sih. Cuma ngurusin dirinya sendiri aja nggak bisa dia. Hah!" maki Mira.
Pembicaraan Tia –Mira berakhir setelah Tia berada dalam taksi menuju rumahnya, dia sudah sedikit lega setelah menumpahkan seluruh luka yang dirasakannya pada Mira. Tia menceritakan semua hal yang membuatnya sesak napas, walau ada beberapa hal yang sangat pribadi tidak diceritakannya.
Tia memutuskan untuk tidak membiarkan Darel dan Nimal mengontrol hidupnya. Tia harus fokus pada hidupnya, fokus pada anak-anaknya, dan pada pekerjaannya. Tia meyakinkan diri bahwa kebahagian Darel dan Nimal yang penuh noda itu, tidak akan merusak hidupnya.
Sesampainya di rumah, Tia merebahkan tubuhnya yang lelah. Matanya sulit terpejam, bayangan Darel dan Nimal bersliweran. Lingerie biru muda, kopi latte, parfum, dan mobil yang sudah dimodifikasi sedemikian rupa.
Tia menutup wajahnya dengan bantal, terisak hebat ketika membayangkan Nimal dan Darel bercengkrama di mobil yang biasa ia naiki bersama anak-anak.
Kembali ke Jakarta.
Darel masih terjaga, setelah lembur dadakan karena perintah Marvel begitu tiba di Jakarta. Dia kembali ke apartemen hampir pukul 12 malam. Mendapati kamarnya kosong, masih rapi seperti ketika dia tergesa meninggalkan Tia. Ada gelas kopi latte di meja yang belum diminum. Sekilas membaca pesan di sticky note yang ditinggalkan oleh Tia. Darel berusaha tenang, walau hatinya kebingungan.
[Kita harus gimana, Rel? Soalnya gue belum bisa lepasin lo sekarang.]
Darel tersenyum kecil membaca pesan Nimal.
[Iya sama, kok. Gue juga] balasnya.
Sekarang Tia sudah mengetahui perselingkuhannya dengan Nimal, namun hati lelaki itu tetap kukuh tidak ingin meninggalkan Nimal. Dia terlanjur menikmati sensasi membahagiakan itu, selalu berdebar dan terasa begitu mengguncang dadanya. Nimal adalah hidupnya kini.
[Besok pagi gue ke apartemen lo, sabar ya.]
Darel membaca pesan Nimal tadi, ketika dia mengabarkan bahwa Tia sudah kembali ke Yogyakarta.
[Gue tidur dulu, ya. Udah ditegur bolak-balik sama Rahandika. Sabar, yaaa … sampai ketemu besok, Sayang.]
Pesan dari Nimal kembali datang. Darel terlentang di tempat tidur, ponsel diletakkan di dadanya. Hatinya nelangsa membayangkan wanita yang dicintainya saat ini sedang berada di pelukan Rahandika, suami Nimal, bukan dirinya.
Otaknya terus bergerak ke sana ke mari. Dia berkali-kali membaca pesan yang diterima dari Nimal. Sama sekali tidak membuka pesan Tia atau mencoba menghubungi istrinya.
Ponsel Darel bergetar, sebuah pesan baru dari Nimal.
[Gue di depan apartemen lo.]
Darel seketika melompat dari tempat tidur, setengah berlari membuka pintu. Mulutnya ternganga mendapati Nimal berdiri di depan apartemennya dengan baju olahraga. Secepat kilat dia menarik tangan wanita itu, menutup pintu, dan memeluknya erat.
“Kok bisa? Jam berapa ini?”
“Bisa dong, jam lima pagi. Lo nggak tidur, ya?”
“Eh, jam lima.” Darel berseru.
Nimal melepas pelukan, mengibas rambutnya manja.
“Beneran nggak tidur, kangen gue?” tanyanya manja.
Darel meraih pinggang Nimal, memeluknya dengan tangan kanan, tangan kirinya sibuk memainkan rambut Nimal. Wanita itu tertawa manja, bergelayut.
"Gue lari loh ke sini, gila banget, kan?”
“Gue anterin baliknya ya, sampe ujung jalan.”
“Yuk ah, nanti lo telat kerja. Gue kan udah telanjur ngajuin cuti gara-gara Tia ke sini. Eh malah sekarang istri lo udah pulang ke rumah. Nggak bisa ketemu lo di kantor deh hari ini,” keluh Nimal. Wajahnya cemberut.
Darel tersadar, mendadak merasa bersalah. "Oh, iya ya. Sorry, ya. Terus hari ini lo mau ngapain?"
"Hmm, nggak apa-apa, sih. Hari ini gue mau anter Kanendra aja, lagian lama banget gue nggak antar jemput dia sekolah," kata Nimal menyebut tentang anaknya.
"Oh, syukurlah kalo gitu."
Sebelum Darel membuka pintu kamar, Nimal memeluk punggungnya. Darel membeku, jantungnya berlompatan.
“Kita keluar barengan nggak apa?” bisik Nimal.
“Nggak papa, di sini nggak ada yang peduli, hidup masing-masing.”
Nimal melepas pelukan setelah mencium leher belakang Darel, Darel menggeliat. Mereka berkejaran dengan waktu, tidak bisa melakukan banyak hal.
Di dalam mobil keduanya berpegangan tangan, seolah tidak ingin saling melepaskan. Wajah Darel semringah, tidak terlihat bahwa matanya nyaris tidak terpejam semalaman. Nimal berkali tertawa ceria, bergelayut lupa diri.
“Akhirnya gue bisa naik mobil lo, ya. Mobilnya nyaman, bagus.”
“Baru gue modif.” Darel mengerling, “Sebelum gue bawa ke sini, biar lo nyaman.”
Nimal bergegas turun dua ratus meter dari rumahnya, memberikan kecupan perpisahan.
“Sampai ketemu besok,” bisiknya manja.
Lagi-lagi Darel membeku, masih terpaku pada Nimal yang berlari kecil menuju rumahnya. Lelaki itu merasa begitu dicintai. Nimal adalah gambaran wanita yang jauh berbeda dengan Tia. Darel merasa wanita agresif lebih dibutuhkan olehnya, dan sosok Nimal memiliki semua fantasi lelaki beranak dua itu.