Mulyadi mengerti betul bahwa mimpinya tidak akan mudah diraih. Di dalam buku catatannya yang lusuh, ia menuliskan semua cita-citanya. Halaman demi halaman dipenuhi dengan tulisan tangan yang penuh semangat. “Aku ingin menjadi guru,” tulisnya di salah satu halaman, di bawahnya ia mencatat langkah-langkah yang perlu ia ambil untuk meraih cita-cita itu. Ia bahkan membuat catatan tentang universitas yang ingin ia masuki dan program studi yang ingin diambil. Setiap kali menuliskannya, hatinya terasa bergetar, seolah-olah mimpinya itu benar-benar ada di depan mata.
Di sisi lain, Mulyadi selalu tahu bahwa tidak semua orang di sekitarnya memiliki pandangan yang sama. Banyak teman sebayanya yang lebih memilih untuk bekerja di ladang, membantu orang tua, dan menganggap pendidikan tidak penting. “Untuk apa sekolah, Mulyadi? Bukankah lebih baik kita membantu orang tua?” sering kali mereka mengajukan pertanyaan seperti itu. Mulyadi tidak marah. Sebaliknya, ia justru merasa prihatin. Ia ingin sekali berbagi pandangan dengan mereka. “Tapi pendidikan bisa membuka pintu untuk kita,” ingin sekali ia berteriak, namun kata-kata itu selalu tersimpan di dalam hatinya.
Mulyadi menuliskan mimpinya bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga sebagai bentuk penghormatan kepada ibunya. Ia ingin ibunya bangga. Setiap malam, sebelum tidur, Mulyadi akan membaca ulang catatan itu, seolah-olah itu adalah mantra yang akan membawanya menuju impian yang lebih cerah. Dia selalu membayangkan bagaimana ibunya akan tersenyum bangga saat melihat anaknya berhasil. Dan itu membuatnya semakin bertekad untuk terus berjuang, tidak peduli seberapa sulit jalan yang harus dilalui.
Setiap malam, Mulyadi sering bermimpi. Bukan mimpi buruk yang membuatnya terbangun ketakutan, melainkan mimpi indah tentang masa depan. Ia membayangkan dirinya berdiri di depan kelas, mengajar anak-anak dengan semangat yang sama seperti yang diajarkan oleh gurunya. Dia membayangkan mereka yang tersenyum, memahami pelajaran yang ia sampaikan. Rasanya, seperti bisa menyentuh hidup mereka dengan pengetahuan yang ia miliki.
***
Mulyadi tahu bahwa mimpinya memerlukan pengorbanan. Setiap pagi saat matahari baru saja terbit, ia sudah siap dengan seragam sekolahnya yang sedikit lusuh. Jalannya yang panjang menuju sekolah adalah waktu untuk merenung. Ia sering kali berbicara pada dirinya sendiri, “Aku harus terus berjuang, meskipun mereka tidak melihat apa yang aku lihat.” Sepanjang jalan, Mulyadi melihat banyak anak seusianya yang sibuk di ladang atau membantu di pasar desa. Terkadang, ia merasakan sedikit iri melihat mereka tidak perlu berjuang sekeras dirinya. Tapi kemudian, ia ingat tujuan besarnya—membanggakan ibunya, dan menjadi guru yang bisa mengubah kehidupan banyak orang.
Hari itu, ketika Mulyadi sampai di sekolah, ia bertemu dengan Pak Rahman, gurunya yang selama ini menjadi panutannya. Pak Rahman adalah sosok yang selalu mendorong Mulyadi untuk terus berusaha. "Bagaimana persiapanmu untuk ujian, Mulyadi?" tanya Pak Rahman dengan senyuman penuh kebapakan.
Mulyadi tersenyum sambil mengangguk. "Saya sudah belajar, Pak. Insya Allah, saya siap."
Pak Rahman menepuk bahu Mulyadi dengan penuh keyakinan. "Kamu anak yang luar biasa, Mulyadi. Jangan pernah biarkan mimpi itu padam. Dunia butuh orang-orang seperti kamu."
Kata-kata itu selalu menjadi bahan bakar bagi Mulyadi. Ia percaya bahwa dirinya bisa meraih apa yang ia impikan, meski terkadang rasa ragu datang menghampiri.