Polisi mengelilingi rumahnya bagai semut mengelilingi gula. Arya dan Apta keluar dan bersembunyi tepat waktu sebelum petugas menggeledah bagian belakang rumahnya. Hujan dan kabut menghalangi pemandangannya, namun Arya dapat melihat neneknya ditahan oleh seorang polisi, atau humanoid polisi, ia tak yakin yang mana yang betul.
Mereka menyusuri gang kecil kumuh yang ditunjukkan neneknya. Drone pengintai terlihat mengudara, Arya menutup tudungnya dan tudung adiknya lalu berlindung di belakang tong sampah.
Celah itu tak mungkin dimasuki orang dewasa, tetapi cukup luas untuk dua anak laki-laki. Apta menyalakan fitur senter pada jam tangannya, yang akhirnya berguna di saat seperti ini, cahayanya tidak terlalu terang untuk memancing para polisi, namun juga tidak terlalu redup.
“Kemarikan Bruno,” Arya menyampirkan selembar kain diatas tanah.
“Kakak bisa?” tanya adiknya sembari membaringkan Bruno diiringi bunyi kelotak pelan.
Arya mengangguk ragu. Sejujurnya ia bahkan tak mengenali barang-barang perkakas milik neneknya. Kata neneknya, Bruno merupakan anjing produksi lama, jadi perbaikan dan perombakannya pun lebih mudah menggunakan teknologi lama. Ada beberapa yang bentuknya hampir mirip, besi lonjong ramping dengan pegangan dari karet yang ditempeli kertas dengan tulisan ‘obeng’ yang kemungkinan besar adalah nama alat itu.
“Dik, bantu aku” Arya mencocokkan ujung alat panjang itu satu persatu dengan sekrup di badan Bruno.
Sirene polisi masih terdengar walau samar-samar, masih banyak hal yang ingin ia tanyakan ke neneknya, termasuk soal orang tua mereka dan sekarang ia mungkin sudah kehilangan kesempatan itu untuk selamanya.
“Kak kenapa kita harus kabur? Kita harus menolong nenek!” tanya adiknya sembari mencoba satu persatu alat didalam kotak perkakas.
Arya menggeleng, pertanyaan itulah yang sedari tadi melintas di kepalanya. Keberadaan neneknya sendiri merupakan rahasia, ia selalu pergi pagi-pagi sekali dan pulang larut malam dan tak pernah membicarakan kemana ia pergi atau bagaimana harinya, mungkin hari ini pun bagian dari rencananya. Arya mengusir pikiran itu jauh-jauh.
“Apta,” salah satu obeng akhirnya pas dengan sekrup di sisi perut Bruno. “Kau pernah ikut perkemahan robotik kan?”
Ia mengangguk, adiknya jauh lebih pintar darinya soal merakit robot dan mesin, tetapi mudah panik dan hal itu membuanya tak bisa berpikir jernih.