Pian kecil tak berhenti merengek pada Sadirman. Bukan menuntut minta dibelikan mainan seperti bocah kebanyakan, melainkan ia ingin didaftarkan masuk sekolah dasar. Bagaimana tidak, tahun ini Pian sudah genap berusia delapan tahun, dan ia sungguh ingin mengenyam bangku sekolah. Apalagi Sadirman juga telah menjanjikan pada anak kesayangannya itu kalau ia akan memasukkan Pian di sebuah sekolah dasar di perbatasan kampung sejak tahun kemarin. Namun, nyatanya sampai hari ini tukang gali kubur tersebut tak kunjung menunaikan janji.
Semua bermula ketika Mamat membanggakan pada Pian kalau orangtuanya sudah membelikan seragam dan peralatan sekolah baru. Padahal usia Mamat masih satu tahun di bawah Pian. Membuat dada Pian panas bukan main. Meski hari itu sebenarnya tak hanya Mamat yang bercerita kalau ia akan segera masuk sekolah, pun Yuyu, Aldi, dan Arini. Tapi, untuk ketiga temannya yang lain itu, Pian tak mempermasalahkan kalau mereka masuk sekolah tahun ini. Sebab, di usia yang masih belia, Pian sudah bisa menilai kalau Yuyu, Aldi, dan Arini berasal dari keluarga berada. Pian ingat betul bagaimana Yuyu kerap mengajaknya mencari keong di sawah milik orangtua Yuyu yang berhektar-hektar luasnya, juga bagaimana dirinya sering menumpang nonton televisi di rumah Aldi yang gambarnya berwarna, atau Arini yang selalu menyuguhkan air dingin dari kulkas ketika Pian bermain bersama teman yang lain ke rumah gadis kecil itu. Sungguh, Pian tak mempermasalahkan kalau ketiga temannya itu masuk sekolah lebih awal. Tapi, tidak dengan Mamat. Menurut Pian, Mamat sama melaratnya seperti dirinya.
“Pak, Pian mau sekolah. Tangan Pian juga sudah bisa menyentuh telinga.” Pian melingkarkan tangan kanannya di atas kepala dengan ujung jari menggapai telinga kiri. Sepasang mata bocah itu basah. Sebab, sesuai keyakinan Pian, jika ujung jarinya sudah bisa menyentuh daun telinga, itu artinya usianya sudahlah cukup untuk masuk sekolah dasar. Tak ingin ayahnya ingkar janji, Pian hanya bisa menangis.
Menghela napas dalam-dalam, Sadirman menanggapi permintaan anak semata wayangnya itu. “Bapak masih belum punya rezeki, Le.” Sadirman berusaha menghapus air mata yang sudah meleleh di pipi Pian, namun ditepis oleh tangan mungil bocah tersebut.
“Bapak udah janji, kan. Katanya, tahun ini Pian mau didaftarkan sekolah,” tagih Pian. Ia ingat betul bagaimana sedari tahun lalu Sadirman mengatakan akan membelikan Pian seragam baru dan perlengkapan tulis.
“Tapi, sekarang Bapak masih belum punya uang. Tabungan Bapak juga ndak cukup untuk biaya sekolahmu, Le.” Diam-diam lelaki tukang gali kubur sekaligus penjaga makam itu mengelus dadanya. Berharap kesabaran di dalam dada bidang itu dapat bertambah.
Sadirman bukanlah lupa pada janjinya. Namun, penghasilannya belakangan ini benar-benar tak mencukupi. Jangankan untuk mendaftar dan membeli seragam sekolah untuk Pian, buat makan sehari-hari saja, Sadirman perlu mengeratkan ikat pinggang. Maklumlah, sebagai penggali kubur, Sadirman hanya mengandalkan pemasukan dari kematian warga sekitar. Maka, tak mungkin pula lelaki berusia empat puluh tahunan itu berdoa pada Tuhan agar banyak warga yang segera dicabut nyawanya. Sungguh, semelarat-melaratnya Sadirman, ia tak pernah mengharapkan hal tersebut terjadi.