Hujan tidak menunjukkan tanda-tanda akan reda. Genangan air di halaman rumah Siti kini sudah setinggi mata kaki. Jalanan desa mulai tertutup, dan beberapa tetangga mulai panik, memindahkan barang-barang penting mereka ke tempat yang lebih tinggi.
Di luar, suara ranting patah, ranting pohon yang terbawa arus kecil, dan benda-benda rumah tangga hanyut semakin sering terdengar. Beberapa warga mencoba menolong, tetapi arus mulai lebih deras dari perkiraan.
Tiba-tiba, dari pengeras suara balai desa, terdengar suara tegas seorang aparat.
“Warga desa, peringatan darurat! Bendungan di hulu hampir jebol! Segera evakuasi ke titik aman yang telah ditentukan!”
Siti merasakan jantungnya melompat. Ia menatap ke arah Raga yang sedang duduk di kursi, wajahnya memucat karena demam. “Raga… kita harus siap pergi sekarang, Nak.”
Raga mengerang, lemah. “Bu… aku sakit… aku nggak kuat jalan jauh…”
Siti menelan ludah. Ia tahu memaksa anaknya keluar akan sulit, tapi waktu mereka tidak banyak. Dengan tangan gemetar, ia menggendong Raga, memeriksa ransel yang sudah diisi pakaian dan dokumen penting.