Hari kedua pencarian dimulai dengan udara yang masih basah dan tanah yang licin. Sungai menyisakan lumpur tebal di tepiannya, dan bau tanah basah bercampur air sungai yang deras masih terasa menusuk hidung.
Siti bangun lebih pagi dari biasanya, meski tubuhnya pegal dan matanya bengkak karena menangis semalaman. Ia tidak peduli pada rasa sakit atau dingin yang menembus tulang; yang ada hanya satu tujuan: menemukan putranya.
Relawan dan warga mulai menyisir area yang lebih luas, termasuk jembatan desa sebelah, tepi sawah, dan reruntuhan rumah yang hanyut. Siti bergabung, menahan napas, menggenggam jas hujan basah yang menempel di tubuhnya.
Di posko evakuasi, seorang anak laki-laki yang selamat dari banjir mendekati Siti. Matanya besar dan penuh takut, tapi ada kepedulian di wajahny
“Bu… aku… aku lihat seorang anak… mirip Raga… di atas pintu kayu yang hanyut… di sungai dekat jembatan,” kata anak itu dengan suara gemetar.
Jantung Siti seketika berdegup kencang. Matanya melebar, dan tubuhnya terasa ringan sekaligus tegang. Secercah harapan muncul, seolah cahaya kecil di tengah gelapnya dunia yang runtuh.
“Benar? Kamu yakin, Nak?” tanya Siti, suaranya hampir pecah.