Kabut tipis masih menyelimuti Desa Wanasari. Embun dan sisa hujan semalam membuat tanah berlumpur licin di setiap langkah. Udara dingin menusuk tulang, dan aroma tanah basah bercampur dengan bau sisa banjir masih terasa kuat.
Siti sudah bangun sebelum fajar. Tubuhnya pegal, matanya sembab dan merah, tapi hatinya tetap tegar. Ia memeluk tas Raga yang basah, menatap sungai yang kini mulai tenang, dan menahan napas panjang. Hari itu, ia merasa, mungkin ada jawaban yang menunggu di sepanjang jalan yang telah mereka lalui.
Imam dan relawan lain menyiapkan peralatan, dan mereka mulai menyisir area yang belum terjamah: tepi sawah, gundukan tanah, dan jalur-jalur kecil yang bisa menjadi tempat Raga tersangkut.
Tak lama kemudian, seorang relawan berseru:
“Bu… lihat! Ada jejak kaki kecil di lumpur!”
Siti berlari mendekat, jantungnya berdegup kencang. Jejak itu kecil, persis ukuran kaki Raga, dan terlihat mengarah ke sebuah bukit kecil di ujung desa. Tanah basah membuat jejak itu terlihat jelas, seolah membimbing mereka menuju satu titik harapan.
“Raga… ini kamu, Nak?” Siti menunduk, menatap jejak itu dengan mata berkaca-kaca. Tangannya gemetar saat menyentuh tanah di sekitar jejak itu, berharap bisa merasakan kehadiran anaknya.