Raga tergolek lemah di tandu darurat yang dibawa relawan. Tubuhnya kedinginan, bibirnya biru, dan napasnya tersengal. Setiap detik terasa begitu panjang bagi Siti, yang tak lepas dari samping anaknya. Ia memeluk tangan kecil Raga, menekannya ke dadanya, berharap kehangatan tubuhnya bisa menahan hawa dingin yang merayap.
“Bu… sakit… aku nggak kuat…” suara Raga lirih, hampir tak terdengar.
Siti menahan air mata. “Iya, Nak… Ibu tahu… tapi sebentar lagi kita sampai… kita harus kuat, Nak… Ibu ada di sini…”
Namun kenyataan pahit segera menghadang. Jalan menuju kota untuk ke rumah sakit terputus akibat banjir dan tanah longsor. Perahu yang membawa mereka harus melewati sisa arus sungai yang deras, reruntuhan kayu, dan lumpur yang menumpuk.
Imam menatap Siti, wajahnya tegang. “Bu… kita harus cepat, tapi hati-hati… arus ini masih berbahaya…”
Siti mengangguk, lalu menggenggam tangan Raga lebih erat. “Kita akan sampai, Nak… kita akan sampai…”