Ambulans melaju di jalan rusak, tubuh Raga terbungkus selimut hangat, tapi napasnya tetap lemah dan tidak stabil. Siti menggenggam tangannya erat, menempelkan pipi pada tangan kecil itu, menahan rasa panik yang menguasai hatinya.
“Raga… Nak… Ibu di sini… tetap pegang tangan Ibu… Tetap kuat ya nak, ibu mohon…” bisiknya berulang kali, suaranya pecah karena tangis yang tak bisa ia tahan.
Rumah sakit akhirnya terlihat di kejauhan. Lampu-lampu darurat menyala, suara sirene medis menembus udara pagi yang basah. Relawan membantu Siti membawa Raga masuk, dan tim medis segera menangani kondisi Raga. Siti berdiri di samping ranjang ICU, menatap wajah putranya, air mata mengalir tanpa henti.
Dokter keluar beberapa saat kemudian, wajahnya cemas dan muram. “Ibu… kami sudah melakukan yang terbaik… Raga mengalami hipotermia parah, organ tubuhnya mulai terganggu… kami butuh waktu…”
Siti mengangguk, meski hatinya remuk berkeping-keping. Ia terus menatap Raga, menggenggam tangannya erat, membisikkan kata-kata pelan, penuh doa: “Tetap kuat, Nak… Ibu di sini… Ibu selalu menunggumu… Ibu yakin anak ibu bisa…”
Hari berganti malam, dan malam berganti pagi. Siti tidak tidur. Ia menunggu, memeluk tangan anaknya, berbicara pada Raga seakan anaknya bisa mendengar dan merasakan setiap kata:
“Raga… Ibu di sini… jangan pergi… Tetap kuat ya nak…”
Namun, di tengah harapan yang ia pertahankan, kenyataan menghantam dengan kejam. Raga tidak lagi bergerak. Napasnya berhenti. Selimut hangat yang menutupi tubuhnya tidak lagi bisa menghalau dingin yang kini menembus ke hati Siti.
“Raga… jangan tinggalkan Ibu… tolong… jangan…” Siti menangis histeris, menempelkan pipi pada wajah anaknya, merasakan kehangatan yang kini hilang selamanya.
Dokter menunduk, tak bisa berkata banyak.
Siti memeluk erat tubuh anaknya di ranjang rumah sakit. Dunia di sekitarnya terasa hampa, sunyi, dan dingin. Banjir telah membawa mereka jauh dari rumah, dari kehidupan yang biasa, dan akhirnya membawa kehilangan yang paling pahit.
Di luar jendela, desa mulai pulih perlahan. Rumah-rumah dibangun kembali, jalanan dibersihkan, dan suara anak-anak terdengar bermain kembali. Namun bagi Siti, dunia yang ia kenal telah berubah selamanya. Rumah yang bisa dibangun kembali hanyalah dinding dan genting, bukan Raga, bukan kehangatan yang dulu mengisi hari-harinya.
Siti menunduk, menatap wajah anaknya yang tak lagi bernyawa. Ia tahu, hidup harus terus berjalan, tapi luka ini tidak akan pernah hilang. Ia memejamkan mata, menggenggam tangan anaknya untuk terakhir kali, dan berbisik dalam hati:
“Anakku… terima kasih sudah hadir di hidup Ibu… Ibu akan selalu mencintaimu… selamanya…”
**