Bahkan ku terus memandangi langit putih bercampur abu-abu itu, yang kata nya indah.
Bulir bening dari gumpalan-gumpalan putih diatas sana jatuh mengenai pipiku, seakan bulir itu jatuh bersamaan dengan bulir yang ada di pelupuk mataku.
Jiwa ku mencelos begitu saja saat ku tahu langit tidak seindah kata mereka.
Terus ku amati perubahan mega yang bergerak tidak tentu arah, dan kini ku tahu yang berperan saat ini adalah angin.
_ _ _
Atap rumah itu terlihat usang, mungkin sebentar lagi air hujan akan menerobos masuk ke dalam rumah. Dan benar saja, tetesan demi tetesan jatuh ke lantai yang tidak ber-alas keramik itu. Kiran masih senantiasa memandangi tetesan air hujan melalui celah atap rumah itu, tanpa berniat mengambil wadah untuk menampung agar lantai tidak dipenuhi dengan air hujan. Hingga satu suara menyadarkan Kiran, dan Kiran hapal sekali suara itu.
"Maaf ya, keadaan rumah aku ya begini," ucap Adam yang baru keluar dari dapur dengan membawa se-gelas teh hangat juga makanan ringan diatas nampan.
"Tidak apa," jawab Kiran dengan tersenyum pada Adam.
"Ini kau minum dulu," ujar Adam seraya menyodorkan teh hangat pada Kiran.
Kiran melihat ke-sekeliling nya tidak ada satu pun orang kecuali mereka berdua, Kiran juga sangat merasa segan karena ia takut terjadi kesalah pahaman bagi orang yang melihat.
"Kok rumah kamu sepi Dam?" tanya Kiran pada Adam yang diam dari tadi.
"Semua nya lagi ada di sawah," ucap Adam.
"Sawah? Bukannya ini lagi hujan ya?"
"Ada gubuk ditengah sawah."
"Terus... Kamu kenapa gak nyusul?"
"Kau mau pulang Ran?"
"Ha? Pulang? Tapi, masih hujan." Kiran mengedarkan pandangan ke arah jendela dan pintu, terlihat bulir-bulir hujan yang jatuh ke permukaan bumi.
"Ya begitu, ini masih hujan gimana aku mau menyusul orang tua dan adikku," jelas Adam.
"Ohiya juga, tapi mereka tidak apa, kan?"
"Gakpapa, ada Allah yang melindungi kenapa harus takut," ucap Adam tanpa melihat ke arah Kiran.
Kiran diam dengan tangan memegang gelas bertangkai yang berisi teh hangat, benar juga kata Adam pikirnya. Tapi ada satu hal yang mengganjal dipikiran nya, bagaimana bisa Kiran sampai dirumah Adam? Padahal dia tadi sedang membeli air mineral di kedai dekat klinik. Kiran masih sungkan untuk bertanya banyak hal, walaupun pertanyaan ini adalah pertanyaan yang wajib untuk Kiran tanyakan pada Adam. Tapi ntah mengapa Kiran tidak mempunyai keberanian untuk bertanya, bahkan untuk menatap Adam disaat seperti ini saja Kiran malu.
Adam menselonjorkan kaki nya diatas tikar tempat mereka bernaung saat ini. Tanpa sepatah kata apapun Adam mengambil minyak urut di atas meja dekat dia duduk.
Kiran hanya memperhatikan semua kegiatan Adam tanpa suara, hingga Adam bertanya pada Kiran.
"Ran... Kau apa yang sakit?" tanya Adam pada Kiran yang masih bingung dengan ucapan Adam.
"Sakit?"
"Iya, tadi kau jatuh pingsan," ungkap Adam pada Kiran yang masih diam seribu bahasa.
Tidak ada jawaban apapun dari Kiran, Kiran hanya menatap Adam dengan rasa bingung yang menyelimuti nya.
"Ran? Kau baik-baik saja bukan?" tanya Adam seraya menggoyangkan bahu Kiran pelan, dan itu membuat Kiran tersadar.
"Kapan aku jatuh pingsan?"
"Tadi dikedai," ucap nya singkat.
"Lalu kenapa kau tidak mengantar ku ke klinik? Bukannya kedai itu dekat klinik, dari pada rumahmu?" tanya Kiran.
"Sudah, tapi tadi klinik terkunci." Sungguh kali ini Kiran sangat bingung juga penasaran, apa yang sebenarnya terjadi? Bukannya klinik tadi buka dan tidak terkunci? Apa Adam berbohong pada Kiran? Atau saat ini Kiran masih dalam keadaan pingsan?.
Kiran menepuk-nepuk pipi nya pelan, dan itu membuat Adam memperhatikan nya.
"Kenapa?" tanya Adam yang tidak dipedulikan oleh Kiran.