"Udah Ran, nunggu apalagi coba."
"ih apaansih kalian, bisa-bisanya dikeadaan genting kayak gini jodoh-jodohin gue," ucap Kiran kesal. Adam dapat mendengar ucapan Kiran tadi, tapi dia tidak mengetahui siapa yang dimaksud ketiga wanita tersebut.
"Kevin!!" Teriak Ana seraya melihat lampu atas pintu mati, dia tahu bahwa operasi telah selesai jika lampu itu mati. Dokter pun keluar dengan seragam hijau operasi, dia mengatakan, "keadaannya begitu lemah, sewaktu-waktu pasien bisa dalam keadaan kritis. Kami akan terus mengawasi dan menanganinya semaksimal mungkin."
Dokter, apakah benturan keras di kepalanya akan berakibat di memori ingatannya?" tanya Kiran.
"Kami belum bisa memastikannya, dan dengan segera kami akan melakukan observasi pada pasien."
Kevin pun dipindahkan dari ruang operasi ke ruang transisi untuk menghilangkan sepenuhnya obat-obat anestesi dari tubuh sekitar 5 hari kedepan. Ana dapat melihat Kevin yang begitu tidak berdaya dan banyak perban yang menghiasi tubuhnya. Dirinya tidak dapat menahan tangis, kedua tangannya pun dengan cepat menghapus jejak air mata yang masih terus mengalir. Jangan tanya bagaimana keadaan Ayah Kevin. Ayah Kevin bahkan tidak dapat menangis lagi, dirinya sudah terlalu lelah untuk menangis.
"Boleh saya lihat anak saya, Dok?"
"Boleh, Pak. Tapi tidak dipernankan untuk membuat kebisingan didalam ruangan. Dan batas orang yang menjenguk hanya diizinkan satu sampai dua orang saja."
"Baik, Dok." Ayah Kevin masuk ke dalam ruangan Kevin dengan menarik Ana untuk ikut melihat Kevin. Ayah Kevin dapat melihat Ana yang menangis sedari tadi, mungkin Ana lebih sakit daripada dirinya. Mereka berdua menatap lirih Kevin yang terbaring lemas di ranjang rumah sakit dengan jarum infus yang tertanam di tangan mungilnya.
Mereka tidak dapat berkata-kata lagi saat ini. Yang diharapkan hanyalah kesembuhan Kevin segera. Tangan Ana bergerak mengelus tangan mungil Kevin. Ia membisikan sesuatu pada Kevin, "cepat sembuh, Keping. Ntar aku traktir jajan Bu Rait," bisiknya dengan suara serak. Ayah Kevin mampu mendengar bisikan Ana pada anaknya. Dirinya terenyuh, sebegitu sayang Ana pada Kevin dan begitu pun sebaliknya. Persahabatan antara Ana dan Kevin membuat suatu kekuatan bagi mereka.
"Ayo Ana, kita keluar. Biarkan Kevin beristirahat," ucapnya pada Ana yang sepertinya menolak untuk keluar ruangan.
"Iya, Wak." Ana menutup pintu dengan wajah tidak berpaling pada Kevin.
"Ana? Kamu jangan khawatir, Kevin bakal baik-baik aja." Kiran mengelus bahu Ana, Kiran yakin bahwa Ana sangat sedih akan keadaan temannya. Namun Kiran tidak dapat berada disini terus, dia harus pulang.
"Pak? Bapak jangan khawatir tentang keadaan Kevin, dia akan baik-baik aja. Dan soal biaya administrasi, saya akan bantu. Saya izin pulang ya, Pak."