Sinar mentari mulai memancarkan cahayanya melalui celah-celah jendela. Ketiga gadis cantik itu mulai mengerjapkan matanya dan hari baru akan dimulai.
Kiran menatap ke arah jam dinding yang terus bergerak tanpa henti itu, jam itu menunjukkan pukul 7:10 WIB. Sudah saatnya bersiap-siap dan meluncur ke klinik tempatnya menghabiskan waktu. Sementara Kayla dan Dinda sudah tahu apa yang dilakukan pertama setelah bangun tidur. Biasanya, Kayla mencuci baju, Dinda memasak sarapan, dan Kiran yang membereskan rumah. Itu sudah menjadi tugas pokok mereka, dan mereka tidak pernah iri maupun mengeluh akan tugas yang mereka sendiri tidak pernah melakukannya dirumah mereka.
Kiran berjalan menuju tempat sapu. Ia mengambil sapu yang tersandar pada sudut ruangan. Sapu itu seakan menari di atas lantai yang penuh debu. Mulai dari dapur, kamar, dan ruang tamu Kiran membersihkannya dengan jiwa tenang seraya tersenyum. Dia pun mulai menyapu di bagian pelataran rumahnya. Pelataran rumah ini hanya sekitar 3x5 m saja. Mata Kiran pun menelisik pada rumah disebelah mereka, rumah Tomi dan Brian. Rumah itu terlihat kotor dari bagian depan, sangat sepi rasanya jika Tomi dan Brian tidak ada. Tapi, ya sudahlah Kiran tidak ingin bersedih terlalu lama. Setelah selesai membersihkan pelataran rumah, Kiran masuk kedalam rumah dan sebuah nasi goreng dengan telur mata sapi di atasnya sudah tersusun rapi di atas meja tamu. Mereka tidak punya meja makan, jadi mereka memanfaatkan meja tamu untuk makan bersama, rasanya juga sama saja pikir mereka. Kayla pun keluar dengan handuk yang di lilitkan di kepalanya, sepertinya dia baru selesai mandi. Mereka kini melahap nasi goreng buatan Dinda yang sangat enak menurut mereka.
"Ran? Gimana ya keadaan Kevin sekarang," tanya Kayla ditengah-tengah sarapan pagi ini.
"Iya, aku juga gak tau. Mau telpon Adam gak punya no nya, lagian juga gak ada jaringan disini."
"Iya juga ya, kamu kenapa gak minta no Adam sih Ran?" kata Dinda.
"Yang bener aja Din, malu lah."
"Lah, ngapain malu. Kan bentar lagi jadi calon suami," imbuh Kayla.
"Haha, Kayla kalo ngomong suka bener." Kayla dan Dinda sangat suka menggoda Kiran, sementara Kiran memasang wajah kesal, padahal dirinya sangat setuju dengan ucapan kedua sahabatnya itu.
Beberapa menit pun berlalu tanpa henti, kini mereka telah sampai di tujuan mereka. Klinik ini tampak sepi hari ini, apalagi karena saat ini Tomi dan Brian sedang tidak bersama mereka. Jujur, mereka sangat merindukan kedua teman lelakinya itu. Tapi ya sudahlah, Tomi dan Brian akan kembali pada mereka dalam 4 hari kedepan. Tatapan Kiran jatuh kepada tempat sampah yang ada di sudut ruangan. Tempat sampah itu terlihat sangat kosong, biasanya Brian selalu mengisinya dengan makanan-makanan ringan yang di bawanya setiap saat. Kiran tersenyum tipis, tangannya menyanggah kepalanya dengan senantiasa menatap tempat sampah tanpa sampah itu. Hingga pikirannya pun terpusat pada Ibu Adam, yaitu Sulis. Kiran dapat melihat wajah Ibunya yang begitu sembab saat mengantar Ana pulang. Rambutnya berantakan, baju yang dikenakan terlihat sudah usang, mungkin karena mau tidur pikir Kiran. Tapi, ada satu yang mengganjal hati dan pikirannya. Sejak kapan Sulis mengenakan kacamata? Apa yang dilakukan nya malam-malam begini? Atau sebelum itu Sulis sedang membaca ayat suci Al-Qur'an? Ntahlah mengapa Kiran memikirkan hal sepele seperti itu? Lebih baik ia mulai merapikan beberapa peralatan dokternya. Beberapa detik kemudian handphone nya berdering, ia langsung mengaktifkan handphone nya dan menampilkan nomor baru yang tidak diketahuinya. Kiran pun mengangkat panggilan itu, handphone nya ia letakkan sejajar di samping kupingnya.
"Hallo" ucap seseorang di seberang sana.
"Iya? Ini siapa?" tanya Kiran pada seseorang yang belum ia kenal itu.
"Adam. Kevin sudah membaik, dan harus rawat inap selama seminggu untuk pemulihan." Awalnya Kiran terkejut karena yang menelponnya adalah Adam. Dari mana Adam mengetahui nomor Kiran?.
"Alhamdulillah kalau begitu, semoga Kevin terus dalam keadaan yang baik. Nanti aku akan memberikan kabar baik ini pada Ana."
"Yasudah."
"Eh, bentar Adam. Kamu dapat nomor telpon aku dari mana?"
"Semua orang punya nomor telpon mu." Astaga, mengapa Kiran lupa? Tentu Adam dan semua orang yang didesa ini mempunyai nomor Kiran, Kiran kan seorang dokter di klinik desa ini, tentu semua mempunyainya. Kiran melihat layar handphone nya sekali lagi, dan benar saja nomor yang Adam telepon adalah nomor darurat yang semua warga juga mempunyainya. Atau, Kiran memberikan nomor pribadinya pada Adam? Tapi, bagaimana jika Adam menolak menerimanya? Ah sudahlah, setidaknya Adam menyimpan salah satu nomornya.
"Ada-?"
Tut.. Tut...
Panggilan terputus begitu saja tanpa ada kata penutup atau salam penutup, dasar Adam!. Meski begitu, Kiran tetap merasa bahagia. Karena, Adam menghubungi orang pertama untuk mengetahui kondisi Kevin. Tapi, apa iya? Bagaimana jika Adam menghubungi yang lain setelah itu Kiran? Ah, mengapa Kiran menjadi posesif seperti ini? Jangan begitu Kiran... Kamu bukan siapa-siapa Adam, jangan berpikir untuk menjadi prioritasnya.
Panggilan Kayla menggema di seluruh ruangan klinik.
"Kiran!" Kiran menoleh ke arah Kayla yang berteriak memanggil namanya.
"Ada apa? Jangan teriak-teriak gitu... ini klinik, bukan taman bermain." Sementara Kayla hanya cengengesan dan menyodorkan sebuah amplop berwarna putih dengan ukuran sedang. Kiran menerima amplop itu dari tangan Kayla dan membukanya. Kiran menyerngit bingung, setelah membuka amplop itu dan berisikan sepucuk kertas berwarna biru muda. Perlahan ia membuka lipatan kertas itu, dan ada sepenggal namanya di ujung atas kertas. Kiran mulai membaca isi kertas itu dengan rasa bingung.