"Ayo, pulang." Dinda menggenggam tangan Kiran untuk pulang dan berkemas kemudian kembali menuju Ibu Kota.
"Biar aku bantu," ucap Adam dan membuat semuanya menoleh kearahnya kecuali Kiran.
"Yasudah, ayo."
Kini mereka menuju rumah, karena Kiran tidak pernah membawa Mobil ke klinik, ia pun berboncengan dengan Adam di jok belakang, sedangkan Ana berada di depan Adam. Jangan tanya tentang Dinda dan Kayla, mereka menaiki sepeda mini yang ada di klinik ini.
Sesampainya dirumah, mereka mulai mengemas barang-barang penting yang akan dibawa. Dan itu dibantu oleh Adam dan Ana tentunya. Air mata terus mengalir lewat pipi lembut Kiran, dirinya begitu rapuh saat ini. Pikirannya kacau, spekulasi buruk tentang Ibunya menguasai pikirannya. Suara tembakan itu seperti maut yang menusuk lewat pendengarannya. Mulutnya seakan membeku, kaki yang ia wanti-wanti agar berjalan lebih hati-hati itu pun ia biarkan membengkak karna Kiran melangkah dengan terburu-buru. Ia tidak perduli seberapa sakit kakinya itu, karena saat ini hanya ada sakit dihatinya yang lebih menguasai dirinya.
"Berpikir positive itu membantu menenangkan hati dan pikiranmu," kata Adam pada Kiran yang menatapnya lirih.
"Dam? Jika aku tidak akan kembali lagi ke desa ini, apa kau akan sedih lalu mencariku?" Ntah mengapa perkataan Kiran kali ini membuat hati Adam patah, bukannya itu adalah hak Kiran untuk melakukan tindakan semau dirinya? Adam tidak ada hak untuk melarangnya. Tapi, perkataan Kiran membuat Adam dilema untuk menjawabnya.
"Aku tidak akan mencarimu, kecuali kau menginginkan diriku."
"Berarti, kau tidak menginginkan Aku?" Lagi dan lagi Kiran mematahkan ucapan Adam, Adam sangat ingin mengucapkan 'aku sangat membutuhkan mu dan aku akan mencarimu' namun ia tak kuasa mengucapkan itu. Perlahan Adam menggenggam tangan Kiran, dan itu membuat Kiran terkejut.
"Jangan melontarkan banyak pertanyaan kepadaku, jika kau sendiri tidak ingin mendengar jawaban yang akan menyakiti mu." Lalu Adam melepas genggamannya pada Kiran, ia menatap mata penuh luka itu lagi. Sepertinya Adam salah bicara, ia tidak ingin membuat Kiran berharap dan akan menyakiti dirinya sendiri secara perlahan.
"Maaf, jika pertanyaan ku membuat mu marah."
"Sudahlah, ayo bergegas. Mereka sudah mengemas barangmu," sambung Adam kembali, namun Kiran masih diam dan kini tatapannya beralih pada kedua kakinya yang mulai membiru.
"Kak, Kiran? Maaf tadi Ana dengar percakapan Kakak sama Bang Adam. Kakak benar-benar gak mau balik lagi kesini ya?" ucap Ana yang mulai menangis. Kiran tidak menjawab perkataan Ana, ia menoleh ke arah Adam lalu kembali menatap Ana dan mengelus puncak kepala Ana juga tersenyum kearahnya. Meski senyum Kiran bercampur dengan bulir bening yang tak henti mengalir, tapi Adam bersyukur dapat melihat senyum itu lagi.
Tanpa sadar hari terlihat sedikit redup, langit yang awalnya biru berubah menjadi abu-abu. Kiran keluar klinik untuk memastikan bahwa hujan belum turun ke bumi. Matanya terus menatap ke arah langit tanpa sinar mentari yang menyertainya. Pikiran Kiran masih tentang Ibunya, banyak pertanyaan yang hinggap di kepalanya. Perlahan bulir bening jatuh kembali setelah jejak air mata yang sebelumnya kering namun kini kembali membasahi pipi Kiran.
"Aku akan mengantarkan mu ke bandara," ucap Adam yang memerhatikan Kiran dari belakang sedari tadi. Kiran tersentak, sejak kapan Adam berada dibelakangnya? sepertinya hari ini Adam melihat sisi lemah Kiran.