Jejak Rasa

129_
Chapter #23

Page 23

Langkah Kiran memelan saat melihat banyak pelayat dirumahnya. Kiran pun menerobos para pelayat Dan masuk kedalam rumahnya. Sesampainya didepan pintu berwarna putih ini, Kiran jatuh terduduk.

"Mama!!!!!" teriak Kiran histeris.

Disana ada kedua jenazah orang tuanya yang tertutup oleh kain batik dan selendang menutupi wajah mereka. Kiran mendekat ke arah jenazah orang tuanya dengan langkah gontai hingga akhirnya kembali tersimpuh disamping jenazah kedua orang tuanya. Perlahan ia membuka selendang yang menutupi wajah Mama juga Papanya. Kiran membungkam mulutnya dengan kedua tangannya, air matanya kini benar-benar tidak dapat berhenti. Terlihat wajah orang tuanya yang sangat pucat, mata mereka terpejam damai, hidungnya pun sudah ditutup dengan kapas. Sungguh, kali ini Kiran benar-benar berada dititik yang sangat rapuh. Hingga pandangannya pun mulai memburam, sebelum ia jatuh limbung, Adit merengkuh hangat tubuh Kiran yang begitu rapuh. 

"Dit? Apa aku sedang bermimpi?" ucapnya dengan suara yang sangat parau.

"Ran... Ikhlaskan kedua orang tua mu ya, Ada aku disini. Biarlah orang tua mu pergi dengan damai."

Kiran terus menangis meratapi jenazah kedua orang tuanya, meski banyak yang mengingatkan agar tidak terlalu meratapi, tapi Kiran mengabaikan itu. Kepiluan ini memuncak saat ia melihat wajah kedua orang tuanya yang sudah tidak lagi bernyawa, hingga pikirannya berpusat pada, bagaimana bisa kedua orang tuanya meninggal? Setelah ini Kiran akan mencari tahu semuanya. Ia melihat ke ujung dinding rumah, CCTV rumah masih tersimpan, Kiran sedikit lega setidaknya ia dapat menemukan jawaban atas semua pertanyaan ini. 

Rumah megah dan mewah ini seketika berubah menjadi rumah duka penuh tangis yang diiringi bacaan-bacaan doa untuk jenazah. Tidak disangka bendera kuning terpasang di ujung gerbang rumah ini. Seluruh anggota keluarga dan para tetangga yang sebelumnya jarang menampakkan diri, kini semuanya terlihat dengan memakai baju serba putih dan melontarkan banyak kata-kata penyemangat hidup untuk Kiran. Hingga perhatian nya teralihkan saat seseorang berteriak masuk kedalam rumah dengan memanggil nama Kiran.

"Kiran!!" Kiran menoleh ke sumber suara dan ia menemukan Sita, adik dari Ayahnya. Sita pun menarik paksa Kiran untuk menjauh dari para pelayat. 

"Semua ini yang terjadi itu kesalahan kau, Ran!!"

"Bagaimana bisa kau menyalahkan ku atas kematian kedua orang tua ku!"

"Karena, hidup mu saja sudah masalah dan aku yakin ini pasti karena mu!" 

"Tapi aku tidak minta untuk hidup di bumi, bukan aku yang menginginkan nya!! Dan tuduhan mu padaku sangat tidak berdasar!" 

"Sudahlah Ran, kau tidak mengerti cara sadar atas kesalahan yang kau perbuat!"

"Bukan aku yang tidak mengerti, tapi kau yang tidak memahami perkataan mu sendiri."

Setelah mengucapkan itu, Kiran pergi meninggalkan nya. Mengapa Sita selalu membuat suasana lirih menjadi suasana yang mencekam? Tidakkah ia merasa lebih sungkan dengan berteriak di rumah duka saudaranya sendiri? Dasar wanita tidak bermoral. Kiran sangat tahu apa yang sebenarnya Sita inginkan, ia pasti menginginkan harta milik Leo. Tapi, Kiran lebih pandai darinya. Lihatlah sikap Sita yang setelah mengucapkan itu pada Kiran, dia langsung keluar rumah ini tanpa melihat sebentar saja wajah terakhir Abangnya yaitu Leo. Semua pelayat yang melihat sikap Sita ini mengutuk Sita dalam diri mereka.

"Nak Kiran, jenazah sudah di mandikan dan tinggal di sholatkan," ucap seorang pengurus jenazah. 

"Iya, lebih cepat lebih baik. Tidak baik menunda-nunda pemakaman," timpal salah satu bapak pelayat yang duduk di dekat pintu. 

Dengan sekuat tenaga Kiran mencoba tegar dengan mata yang membengkak. Sebenarnya dia masih tidak rela akan kepergian orang tuanya dalam keadaan yang begini. Namun, nasi sudah menjadi bubur, mau tidak mau kiran harus mau menghadapi cobaan ini. Kiran pun mulai bersiap dengan mengambil air wudhu untuk menyolatkan kedua orang tuanya. Didepan sana ada kedua jenazah orang tua Kiran yang sudah ada didalam keranda berlapis kain hijau dan beberapa rangkaian bunga juga daun pandan yang melengkapinya. Para pelayat pun mengambil bagian shaf untuk menyolatkan kedua orang tua Kiran. Tidak sedikit yang menyolatkannya, para tetangga, rekan kerja dan para pekerja juga saudara dari kedua belah pihak pun turut hadir. Dan imam mulai mengangkat takbir lalu semua jamaah pun mengikutinya dengan merapalkan bacaan untuk sholat jenazah. 

Beberapa waktu berlalu hingga jenazah akan mulai untuk dibawa ke pemakaman. Karena jarak pemakaman dari rumah Kiran sedikit jauh jika berjalan, maka jenazah orang tua Kiran tidak diangkat lalu berjalan menuju pemakaman, melainkan keranda tersebut dibawa menggunakan Ambulance. Kedua Ambulance itu pun melesat dengan cepat dan tidak membutuhkan banyak waktu untuk sampai kepemakaman. Kedua lubang kuburan sudah tersedia, Kiran kembali menitikkan air mata nya setelah beberapa orang mengangkat jenazah kedua orang tuanya menuju lubang kuburan tersebut. Tidak disangka, hidup kelam akan berakhir seperti ini. Dengan perlahan beberapa bapak-bapak pengurus jenazah mengangkat jenazah kedua orang tuanya lalu memasukkannya ke dalam lubang yang berukuran 2,50 X 1,50 dengan lubang yang terpisah. Ini adalah saat yang sangat melukai hati Kiran, Adit yang senantiasa berada disamping Kiran kini menguatkan Kiran dan merengkuh tubuh Kiran untuk menenangkannya. Dan setelah itu, kedua Paman Kiran masuk ke dalam lubang kuburan untuk mengadzankan kedua jenazah sebelum dikuburkan. Suara adzan itu mampu menyentuh hati setiap orang disini, termasuk Kiran. Kiran sungguh tidak sanggup melihat saat dimana kedua orang tuanya benar-benar harus pergi meninggalkannya. Perlahan Bapak pengurus jenazah mencangkulkan tanah yang ia gali sebelumnya agar kembali masuk ke dalam lubang yang sama dan mengubur jenazah orang tuanya tanpa ada yang terlihat sedikit pun. 


Kiran menaburkan bunga diatas makam orang tuanya, dan ia menyiramkan air mawar diatasnya. Matanya terus menatap ke arah papan nisan yang bertuliskan, Leo Arthawijaya, lahir 2 Mei 1969, wafat 16 November 2021 dan Lita Dianty Arthawijaya, lahir 17 Juni 1975, wafat 16 November 2021. 


"Mama... Papa... Hiks hiks." Tangisan lirih itu membuat Kiran tidak berdaya. 


"Ran, sudah Ran. Aku tau ini berat untukmu, tapi ikhlaslah agar orang tua menuju akhirat dengan damai," kata Dinda. Benar ucapan Dinda, Kiran tidak boleh terus meratapi kepergian orang tuanya, itu hanya akan membuat orang tuanya sulit untuk pergi. Kiran menghapus air mata yang sedari tadi mengalir dan membuat matanya membengkak. Ia bersama yang lainnya mulai mendoakan kepergian kedua orang tuanya dan diiringi rintikan tangis tanpa suara. 

_ _ _ 

Beberapa hari berlalu, kini semua kejanggalan itu ia kupas tuntas di hari ini. Kiran akan menemukan semua jawaban atas pertanyaannya akan misteri meninggalnya kedua orang tua Kiran di waktu yang bersamaan. Dan kasus ini dibantu oleh beberapa anggota intel khusus untuk menyelidikinya. Kiran berjalan menuju satu ruangan kosong yang ada dirumahnya, ruangan ini hanya berisi 3 orang saja, yaitu Kiran, dan kedua anggota intel. Tidak ada saksi mata dalam kasus ini, namun beberapa tetangga mendengar suara tembakan berulang kali. Hasil Autopsi kedua orang tuanya sudah keluar kemarin, dan hasilnya begitu mencengangkan saat Kiran membacanya. Ayahnya, Leo Arthawijaya meninggal karena racun mematikan ditubuhnya dan satu tembakan tepat di bagian dadanya. Sedangkan, Lita Dianty Arthawijaya meninggal karena satu tembakan tepat dikepalanya dengan jejak cambuk dan banyak memar menghiasi tubuhnya. Kiran sempat terpikir bahwa Ayahnya lah pelaku sebenarnya, namun mengapa ia juga ikut tiada? Mengapa ada racun ditubuhnya? Dan siapa yang menembaknya?. Semua itu, akan Kiran selidiki saat ini juga. Kiran mulai mengecek satu persatu CCTV yang terpasang di semua sudut rumah ini. Namun, ia tidak menemukan apapun, dan saat ini Kiran sangat yakin bahwa ini adalah pembunuhan berencana. 

Lihat selengkapnya