Haruskah menunggu mu seperti langit yang menunggu mentari? Ya walaupun kemudian mentari akan pergi dan langit kembali menunggu, lalu bagaimana dengan isyarat yang tak sampai pada langit? Ntahlah, kata semesta tentang duka memang menyedihkan. Kali ini bukanlah tentang Kiran dan dukanya, tapi tentang Kiran yang mencoba hadir di tengah takdir yang mengombang-ambingkan dirinya dengan kata 'tersenyumlah, meski sangat menyakitkan' rasanya begitu aneh saat jarak mempermainkan dirinya. Saat jarak menjadi salah satu kendala yang selalu muncul di balik senyum itu, dan saat jarak menjadi duka yang terdalam bagi jiwa yang masih dalam proses untuk menyatu. Dirinya sudah mencoba tegar dan menerima semua, namun nyatanya itu tidak mampu membuatnya berpikir hal baik tentang dia di negri orang. Saat langkah yang seharusnya menapakkan jejak indah, kini berubah menjadi jejak yang tidak tentu arah. Meski semua kehampaan ini membuatnya resah, namun dirinya tidak akan menyerah begitu saja hanya karena ini.
"Hallo?"
"Hallo, Ran."
"Assalamualaikum?"
"Waalaikumsalam."
"Bagaimana kabar mu?"
"Sangat baik."
"Apa makan mu teratur?"
"Tentu."
"Latihan militer mu bagaimana?"
"Berjalan lancar."
"Apa semua teman mu baik pada mu?"
"Iya, mereka sangat baik."
"Hmm... Apa kau merindukan ku?"
". . . . . ."
Tidak ada jawaban dari Adam di seberang sana, Kiran hanya mendengar samar-samar suara beberapa orang yang sepertinya sedang berbincang dari kejauhan.
"Maaf," ucap Kiran lirih.
Panggilan terputus. . .
Sepertinya Adam sedang sibuk, atau ia tidak mendengarnya?, atau... Koneksi disana kurang bagus? Kiran... Cobalah untuk berpikir positif, mungkin saja ia sedang ada sesuatu yang membuatnya tidak dapat menjawab pertanyaan mu. Tapi, mengapa membuat Kiran bertanya-tanya akan panggilan terputus tanpa salam? Kiran kembali menatap nanar layar ponsel yang menampilkan banyak panggilan masuk dan keluar dari Adam dan untuk Adam.
Mengapa jarak antara Indonesia dan Italia membuat jarak dua dunia? Mengapa seakan jarak ini membuat sebuah rintangan tanpa jembatan? Kiran tahu bahwa Adam punya dunianya sendiri, namun Kiran hanya ingin mengutarakan rindunya pada Adam, tidak salah bukan?. Kiran menghela nafas, mencoba untuk berpikiran baik pada dirinya yang sangat kacau tanpa Adam.
Paket...
Suara kurir terdengar hingga kamar Kiran dan mengalihkan perhatian juga pikirannya. Kiran berjalan keluar untuk mengambil sesuatu yang dikirim oleh kurir tersebut, meski ia tidak mengetahui itu dari mana dan dari siapa.
"Paket untuk Ny. Kiran."
"Saya sendiri."
"Baik, ini paketnya. Terimakasih."
"Sama-sama."
Kiran masuk dengan rasa penasaran yang memuncak. Apa yang ada di kotak berwarna coklat ini? Kiran merasa tidak ada memesan barang apapun dari toko online. Dengan cepat tangan Kiran membuka kotak coklat yang sudah di beri label itu. Sebuah amplop? Apa dalamnya? Kiran membuka amplop tersebut dan mengambil sesuatu di dalamnya, ternyata surat berwarna biru muda lagi. Ini surat ketiga dari Mrs, X setelah beberapa bulan lamanya Kiran tidak mendapatkan surat ini.
Setiap yang pergi, pasti akan kembali. Hanya tinggal menunggu kejutan apa yang akan di bawanya.
Isi surat kali ini begitu singkat, hanya sepenggal kalimat yang mampu membuat Kiran kembali berpikir. Apa maksud dari surat ini? Mengapa rasanya surat ini seperti tertuju pada Adam? Apa ini dari Adam? Ah tidak, Adam terlalu sibuk untuk menulis kata-kata ini. Sudahlah, Kiran akan memikirkannya nanti dan menyimpan surat ini di sebuah tempat yang tidak akan sahabatnya temukan.