Gisha malah kepikiran Neysa karena sikapnya agak berlebihan tadi tapi harus dilakukan supaya Neysa mengatakan sesuatu padanya. Misalnya kangen atau apa lah, yang pasti bisa membuat Gisha merasa lebih baik.
Tapi kalau dipikir-pikir lagi memang Neysa berani mengatakan hal itu?
Sehingga Gisha jadi uring-uringan sendiri hanya gara-gara Neysa. Akhirnya ia memilih berdamai daripada mendiamkan Neysa yang memang dari sananya pendiam. Ia tak akan memaksa Nesya lagi jika membuatnya semakin kurang nyaman bila ada didekatnya.
Sampai di rumah, Neysa langsung mengunci pintu kamarnya lalu menghempaskan tubuhnya di kasur dan menangisi kisah hidupnya. Kisah menyedihkan, menyebalkan, juga memuakkan bahkan menakutkan jika terus di jalani. Namun ia masih berpikir jernih karena menyayangi kedua orangtuanya serta sang adik dan itu alasan cukup kuat agar Neysa terus hidup walaupun terasa berat.
Masih terisak, Neysa membuka ponselnya membaca pesan dari Gisha beberapa hari lalu. Setidaknya sedikit terhibur dengan pesan over pede dari Gisha.
Neysa ingin mengetikan pesan pada Gisha tapi beberapa kali dihapus karena agak aneh mengirim pesan duluan.
Sementara Gisha menatap hampa ponsel ditangannya dan benar saja tak ada pesan dari Neysa entah itu ucapan selamat atau pesan super jutek darinya.
"Dari tadi bengong aja lo kita kumpul kayak gini buat hepi bukan ngelamun kayak ikan," ujar Adam memperhatikan Gisha yang diam saja.
"Emang ikan bisa ngelamun? logikanya kalau ngelamun ditangkepnya enteng tapi gue coba tangkep ikan pake tangan kosong di tambak paman gue malah susah dapetnya," balas Helmi bingung.
"Ngomong sama lo emang susah," sahut Reno.
"Susah apa?" tanya Helmi tak mengerti letak kesusahan saat ngobrol dengannya dimana.
"Susah sinyal," ucap Reno dan Adam bersamaan.
"Btw gue bukan sejenis tower," sanggah Helmi mencebik kesal.
Gisha menghela napas memilih melupakan sejenak tentang Neysa dan bergabung bersama Adam, Reno dan Helmi sedari tadi sibuk mengoceh tentang hal tidak masuk akal.
***
Hari Minggu telah tiba, waktu yang pas untuk mengistirahatkan sejenak otak dari pelajaran di sekolah. Begitu pula dilakukan Neysa, ia diajak Ina untuk lari pagi di sekitar lapangan penuh dengan pedagang. Bukannya mengajak Neysa lari pagi atau jajan pagi tapi mata Ina sibuk mengabsen makanan di sekitar lapangan tanpa terlewatkan satupun.
"Ina, kamu ngajak aku buat absen makanan?" heran Neysa dari tadi Ina sesekali melihat jejeran makanan saja.
"Nggak kak! justru Ina pengen jajan dulu sebelum lanjut lari," jawabnya.
"Katanya mau diet." Neysa ingat beberapa hari lalu Ina mengeluhkan tentang berat badannya yang lebih besar daripada teman-temannya.
"Astaga kakak, aku ini udah langsing gak perlu diet-diet, yuk beli itu kayaknya enak!" ajak Ina menarik Neysa tak berpengaruh apapun.
"Aku gak mau, kamu aja sana."
"Yaudah kakak tunggu disini aja, eh gak ditunggu juga gak papa soalnya makanannya manggil-manggil terus suruh dibeli," pamit Ina langsung ngacir menuju penjual makanan.
"Dasar rakus!" umpat Neysa kesal.
Ternyata ucapan Ina benar akan berlama-lama bernostalgia bersama para makanan di sana daripada menunggu bikin kaki pegal karena terus berdiri, Neysa lari pagi sendiri dan antara terpaksa dan dipaksa.