Hari demi hari perkembangan Bintang begitu membuat Adi takjub, rasanya baru kemarin ia menangis dalam gendongannya, namun kini Bintang telah beranjak dewasa. Adi pun sangat menyayangi putri tunggalnya itu, mulai dari urusan makan, sekolah hingga kesehatan Bintang, Adi turun langsung. Selain itu Adi dikenal sebagai ayah yang protektif bagi Bintang, untuk ke sekolah Adi langsung yang mengantar Bintang, untuk urusan makanan Bintang pun selalu membawa bekal.
"Bintang, hati-hati dong, ini bekalnya, nanti ayah jemput pulangnya," kata Adi.
"Yah, Bintang udah besar, udah SMA lho ini, sampai kapan negbekalnya? temen-temen Bintang aja udah nggak pada bawa bekal," jawab Bintang.
"Nggak, lebih sehat bawa bekal daripada haru jajan di luar, kalau masakan rumah kan bersih, sehat dan nggak pakai campuran aneh-aneh, Bintang makan bekal saja ya, ini susu juga, ingat pesan ayah, Bintang nggak boleh minum es," pinta Ayah.
"Duh Ayah," timpal Bintang kesal.
Dalam perjalanan menuju kantor Adi pun merenungi waktu yang ternyata sangat cepat berlalu.
"Ya Allah, nggak kerasa hari ini hari pertama nganter Bintang sekolah, nggak nyangka dia udah SMA sekarang," ucap Adi dalam hati.
Ia pun baru menyadari ternyata kini usianya sudah dua kali dari usia Bintang.
"Nggak sadar juga sekarang udah kepala tiga menuju kepala empat, udah punya anak gadis. Perasaan baru kemarin aku jadi anak SMA, sekarang udah punya anak aja yang udah masuk SMA," sambungnya.
Saat itu Adi belum menyadari di fase SMA biasanya benih-benih cinta muncul, selama ini Adi terbilang keras kepada Bintang, apalagi soal pacar, bahkan Adi sempat melarang bintang berpacaran sampai usia bintang 20 tahun lebih.
"Pagi Pak Adi," sapa Nuri teman kerjanya.
"Pagi Bu Nuri," jawabnya.
"Tumben Pak Adi berangkat sepagi ini?" tanya Nuri lagi.
"Oh, hari ini hari pertama anak gadis saya masuk SMA Bu, jadi tadi saya antar dan saya langsung ke kampus saja," jawabnya.
"Oh putrinya Pak Adi sudah SMA ya? saya waktu itu pernah ketemu waktu putrinya Pak Adi masih kecil, waktu berlalunya bener-bener nggak kerasa ya Pak," jawabnya.
"Iya Bu, saya juga gitu ngerasanya, perasaan baru kemarin saya gendong ini udah SMA aja," tandasnya.
"Iya Pak, saya juga begitu, perasaan anak saya masih kecil, tapi sekarang udah mau nikah aja, saya mau mantu lho Pak Adi, Insya Allah bulan depan, minta doanya ya," kata Nuri.
"Oh ya? anak sulung Bu Nuri itu?" tanya Adi.
"Duh Pak Adi ini, yang kecil Pak, anak sulung saya kan udah nikah tiga tahun lalu, Pak Adi dan istri dateng lho ke nikahan anak saya yang pertama," tembak Nuri.
"Ya ampun, sampai lupa saya Bu," tukas Adi.
"Iya sekarang putri Pak Adi masuk SMA, nanti waktu tuh terasa cepet banget lho Pak, tiba-tiba aja nanti Pak Adi mantu," imbuhnya.
"Aduh, saya rasanya belum siap ditinggal anak saya menikah Bu, soalnya saya deket banget sama dia, rasanya nggak ikhlas kalau ada laki-laki lain yang lebih dicintai putri saya dibanding saya,"ungkapnya.
"Saya pun awalnya sama seperti Pak Adi, gak rela melepas anak-anak untuk berumah tangga, tapi ya mau gimana lagi, tugas orang tua hanya melahirkan, membesarkan, menafkahi, lalu mengantarkannya menuju kehidupan baru (menikah)," tandasnya.
Ucapan rekan kerjanya tadi pun membuat Adi merenung sejenak.
"Iya ya, Bintang sekarang kelas satu SMA, habis itu dia bakal kuliah, abis itu dia ketemu pendamping hidupnya, dan setelahnya dia akan menikah dan meninggalkan aku," ucap Adi.
Setiap hari Adi pun selalu dipenuhi ketakutan akan pergaulan anak gadisnya, di tambah saat ini berita tentang kenakalan remaja. Atas hal itu Adi pun kian protektif pada Bintang, sampai di suatu ketika, Bintang meminta izin paa Di untuk pulang telat.
"Yah, hari ini aku nggak usah dijemput, aku mau cari buku dulu sama temen aku," tulis Bintang dalam pesan singkatnya.
"Oke, jangan pulang malem-malem, selesai cari buku langsung pulang," pinta Adi.
Saat itu waktu sudah menunjukan pukul 17.00 WIB, namun Bintang belum juga pulang. Bahkan Bintang juga tidak memberikan respons pada pesan-pesan yang dikirimkan oleh Adi.
"Jam berapa ini? Bintang kenapa belum pulang," ucap Adi sambil mondar-mandir di depan pintu.
"Sudah lah Yah, masih jam lima, paling kena macet," jawab Rose.
"Iya kan kasihan kalau macet, kalau ada apa-apa di jalan gimana?" kata Adi lagi.
"Yah, Bintang itu udah mau 17 tahun, dia bukan lagi anak kecil, tenang aja lah, toh dia masih di dalam kota juga," tutur Rose menenangkan.
"Bintang itu anak perempuan, kalau ada apa-apa sama dia aku yang nggak bisa terima, aku nggak bisa maafin diriku sendiri, ini juga di WA nggak dibaca dari tadi, di telepon juga nggak diangkat," ungkap Adi.
"Ya sudah sabar, mungkin nggak ada sinyal atau batrenya habis," sahut Rose.
"Tapi dia kan nggak biasanya kayak gini," timpal Adi.
Selama Bintang belum pulang, Adi masih setiap menunggu di depan pintu, Adi enggan masuk ke dalam rumah sebelum anak perempuannya itu pulang.
"Bun, jam berapa ini, Bintang belum juga pulang," ucap Adi dengan nada meninggi.
"Sudah Bunda coba hubungi Yah, nggak direspons juga," kata Rose.
"Sudah lah Bun, kita cari dia, tadi sama Ayah bilangnya dia mau ke toko buku, siap-siap Bun, kita cari dia," pintanya.
"Tapi ini kan mau Magrib Yah, nggak nanti selepas Magrib saja?" kata Rose.
"Ya sudah kalau begitu, kita salat Magrib habis itu kita cari Bintang," kata Adi.
Setelah selesai shalat Magrib, Rose dan Adi pun bergegas mencari Bintang, meski tak mengetahui secara pasti di mana Bintang mencari buku, Rose dan Adi pun dengan telaten mendatangi satu per satu toko buku di sekitar tempat tinggal mereka. Satu, dau toko pertama nihil, mereka berdua tidak bisa menemukan Bintang.
"Kemana lagi itu anak," ucap Adi.
"Yah, sabar, baru kali ini lho Bintang pulang telat, nggak bareng Ayah, dan ini baru empat jam dia pulang telat, ini juga belum terlalu malam," ucap Rose.
"Ya karena nggak biasa Ayah khawatir, Bintang itu anak perempuan Bun, harusnya Bunda paham perasaan Ayah," jawab Adi.
"Iya paham, tapi menurut Bunda, Ayah itu berlebihan, ayah kan pernah muda," timpal Rose.
"Ya karena Ayah pernah muda, ayah tahu bagaimana pergaulan anak seusia Bintang," serunya.
Di toko ketiga ini, Rose dan Adi pun menyusur setiap lorong dengan harapan bisa menemukan Bintang. Dengan sedikit emosi, Adi mencari keberadan bintang, tanpa sengaja Rose pun menemukan gerombolan anak perempuan di ujung ruang baca tengah asyik dengan buku bacaannya masing-masing, di sana Rose menemukan Bintang bersama anak-anak lainnya.
"Bintang," ucap Rose.
"Bunda," kata Bintang.
"Yah, Bintang di sini," sambung Rose.
Adi pun bergegas menuju ruang baca itu.
"Bintang," kata Adi.
"Ayah, kenapa Bunda sama Ayah di sini?" tanya Bintang.
"Iya kamu dari tadi nggak pulang-pulang, dihubungi juga nggak bisa," tembak Adi.
"Kan Bintang udah bilang mau pergi sama temen-temen, nanti Bintang juga pulangnya dianterin, jadi Ayah nggak usah khawatir," kata Bintang.
"Seharusnya kamu bilang sama Ayah, mau pulang jam berapa, atau setidaknya kasih kabar lah ke ayah satu jam sekali, kalau gini kan Ayah khawatir," jawab Adi.
Mendengar percakapan antara Bintang dan kedua orang tuanya, teman-teman Bintang pun merasa sungkan, mereka pun meninggalkan Bintang begitu saja.
"Bintang kita duluan ya, permisi Om, tante," ucap teman-teman Bintang itu.
Bintang yang melihat teman-temannya pulang duluan pun agak kecewa.
"Ayah kenapa sih harus nyusul ke sini, Bintang udah besar, bisa jaga diri, nanti juga pulang, jam tujuh malem itu masih sore Yah," timpalnya kesal saat perjalanan pulang.
"Kamu itu anak perempuan, bahaya pergi sendirian," kata Adi.
"Teman-teman Bintang tadi semuanya perempuan, ada nggak yang orang tuanya seribet Ayah? nggak ada," jawab Bintang.