Pernikahan ini bukan pernikahan yang diharapkan oleh Bintang, bukan semakin bahagia justru kian sengsara. Mengetahui kini Bintangs udah bekerja, Damar pun seolah lepas tanggung jawab atas istrinya itu. Untuk urusan rumah, Damar pun tak pernah sedikit pun ikut campur, padahal jika ditelaah urusan rumah adalah tanggung jawab Damar sebagai seorang suami. Tak hanya soal urusan uang, Damar juga patriarki lantaran tak pernah sedikit pun mau membantu Bintang untuk mengurus rumah.
"Ya Allah, capek banget rasanya, jam 10 malem baru sampe rumah, masih harus beberes, rumah seberantakan ini, masih juga harus masak," kata Bintang saat melihat kondisi rumahnya.
Baju bekas pakai berserakan, gelas dan piring bekas makan nggak langsung dikembalikan, cucian piring menumpuk, sampah menumpuk nggak dibuang.
"Ini harus aku semua yang ngerjain, terus dia ngapain?" lanjutnya sedikit dongkol.
Perasaan kesal itu kian menguat tatkala Bintang mengecek persediaan bahan makanan di kulkasnya, di sana ia terlihat begitu kesal sebab ia tak menemukan satu bahan makanan pun yang bisa dimasak. Alih-alih mendapati kulkasnya bersih, Bintang semakin marah sebab banyak bungkus snack yang tidak dibuang oleh Damar.
"Astagfirullah, ini orang diajarin nggak sih sama ibunya dulu, bisa-bisa botol sebanyak ini ada di kulkas nggak dibuang."
"Dia juga nggak mikir soal kewajiban dirinya buat ngenafkahin, soal bahan makanan seharusnya ini tanggung jawab dia, beras, minyak, gula, udah dari Bundaku, kadang telur, ayam juga dari Bunda, sisanya aku, terus gunanya dia nikahin apa dong," umpatnya kesal.
Berbulan-bulan sabar dengan kondisi itu, kesabaran Bintang akhrinya habis tatkala mendapati listrik rumahnya berbunyi.
"Bintang, itu listrik kenapa nggak diisi? berisik, kalau mati gimana?" seru Damar.
"Kenapa nggak mau yang ngisi?" tanya Bintang ketus.
"Kenapa aku? ini kan rumah kamu," tegas Damar.
"Yang tinggal di sini kan bukan cuma aku, emang kamu nggak ada kewajiban? listrik, air, gas, bahan makanan, skin care aku, kebutuhan aku harusnya kamu tanggung," ucap Bintang dengan nada meninggi.
"Ngapain aku, di sini kan aku numpang," tandas Damar lalu pergi meninggalkan Bintang.
Sambil menangis, Bintang akhirnya mengisi listrik rumah itu dengan pay letter.
"Ya Allah, udah nggak pegang uang sama sekali, buat makan besok juga bingung dapet dari mana," ucapnya dengan mata berkaca-kaca.
Dalam salatnya Bintang berdoa agar ada keajaiban di hari ini, ia berharap ada transferan uang masuk entah dari siapa agar ia bisa menyambung hidup esok. Doa Bintang itu layaknya tanpa sekat dan langsung diijabah oleh Allah, terdengar sebuah mobil berhenti tepat di depan rumahnya. Rupanya itu mobil ayah yang terparkir di halaman rumahnya.
"Ayah, Bunda," kata Bintang.
"Hai Bintang," ucap Bunda.
"Tumben banget Ayah sama Bunda ke sini?" tanya Bintang.
"Iya tadi Bunda sama Ayah dari supermarket, Bunda pengin aja mampir, akhirnya Bunda ajak ayah mampir," ujarnya.
Sementara itu ayah terlihat menenteng enam kantong plastik besar berisikan bahan makanan lengkap.
"Nah ini Bunda sekalian belanjain buat kamu," ucap Bunda.
"Ya ampun Bunda, kok repot-repot sih, Bintang tuh nanti sore rencananya mau belanja bulanan di supermarket. Alhamdulillah malah dapet rezeki dari Bunda," kata Bintang seolah melegakan Bundanya.
"Ya mending budgetnya untuk belanja bulanan ditabung saja, buat jaga-jaga kalau ke depannya ada keperluan mendadak," pinta ayah.
"Ya udah, yuk Bun, keburu malam, nanti ayah ada acara soalnya," sambung ayah.
"Ya sudah, Bintang, ayah sama bunda pamit ya," tukasnya.
Hari Bintang begitu gembira saat mendapatkan barang-barang itu dari Bundanya.
"Alhamdulillah, cukup lah buat stok sampai gajian lagi, Bunda sama Ayah masih seperhatian ini sama aku, masih kirimin aku sembako meski aku nggak minta, beda banget sama sebelah," ucapnya kesal.
Hari demi hari rupanya tak mengubah sifat Damar, saat itu ibunya berkunjung ke rumah, alih-alih memberikan bantuan untuk rumah tangga anaknya, ibu Damar justru semakin membebani Bintang, sebab seluruh isi rumah Bintang tak luput dari komentar tajam ibunda Damar.
"Maaf ya Bu, rumahnya berantakan, Bintang belum sempat beresin rumah," ucapnya.
"Nggak apa-apa," jawabnya.
"Bi harusnya gerbang depan itu diganti deh, udah usang kayak gitu, nggak enak dipandangnya, coba cari vendor yang bisa bantu," kata ibu.
"Iya Bu, sudah direncanakan, tinggal ngumpulin uangnya," kata Bintang.
"Bulan depan Bu, InsyaAllah Damar ganti gerbangnya," sahut Damar.
Setelah ibunya pulang, Bintang pun mempertanyakan soal ucapannya tadi.
"Uang dari mana Damar buat ganti pintu gerbang? buat nyukupin makan sehari-hari aja masih kurang, beli listrik pakai pay letter, dari mana Damar? gaji aku cuma Rp 2 jutaan," ucap Bintang dengan nada meninggi.
Sejak tinggal berdua dengan Damar, Bintang jadi lebih emosian, bahkan nada bicara Bintang ke suaminya sudah tak bisa halus lagi.
"Tenang aja, ini aku ambilin kamu pinjaman bank, nanti kamu angsur saja Rp 700 ribu tiap bulannya," kata Damar.
Meski tak setuju dengan apa yang dilakukan Damar itu, Bintang terpaksa harus mengiyakannya, sebab ibunda Damar sudah mencecarnya dengan hal itu setiap saat. Itu merupakan petaka baru untuk Bintang, dengan gaji yang pas-pasan masih harus terbebani dengan utang.
"Ya Allah, Rp 2 juta aja masih minus Rp 700 ribu setiap bulannya demi memenuhi gengsi ibu mertua. Padahal pintu ini juga masih layak, nggak perlu diganti juga harusnya, fungsinya masih oke, begini banget ya," ucapnya berkeluh kesah.
Di sisi lain, Bintang menceritakan hal itu pada orang tuanya dengan sudut pandang yang berbeda.
"Bunda, Bintang mau minta izin, Bintang ganti pintu gerbang depan ya, soalnya pintunya sudah usang, InsyaAllah, pemasangan pintu baru dimulai minggu depan, Bintang juga minta tolong sama Bunda kalau Bunda ada waktu ke sini ya, soalnya pas pintu dipasang nanti Bintang nggak bisa cuti ternyata," tulisnya dalam pesan singkat.
"Wah, alhamdulillah, lancar rezeki kamu ya sayang, Bunda seneng dengernya anak Bunda udah mau renovasi rumah peninggalan nenek, makasih ya sayang, nanti Bunda usahakan ke sana ya," jawabnya.
Momen itu lantas diceritakan Rose pada suaminya, ia bangga pada kehidupan Bintang yang dianggapnya sudah mapan sampai bisa mencicil renovasi rumah.
"Yah, Bintang barusan WA Bunda, dia bilang minggu depan ada tukang yang mau ganti pintu gerbang rumahnya," kata Bunda.
"Alhamdulillah ya Bun semenjak menikah sama Damar rezekinya begitu deras," timpal ayah.
"Iya yah, Bunda ikut seneng," tambahnya.
Hal itu dilakukan Bintang semata-mata untuk menutupi perlakuan Damar sebenarnya, di mata orang tau Bintang, Damar adalah sosok laki-laki yang dermawan, royal terhadap istri dan menafkahi Bintang secara utuh. Padahal pada kenyataannya, Bintang lah yang harus banting tulang bekerja demi mencukupi kebutuhan hidup hingga memuaskan gengsi ibu mertuanya.
Sedari kecil, Bintang memang tak diajari untuk berutang sama ayah dan bundanya, membeli sesuatu secara mencicil saja tidak diizinkan oleh ayah dan bundanya. Ini kali pertamanya Bintang memiliki cicilan, bahkan cicilannya kali ini bukan diperuntukan untuk kesenangan pribadinya. Dengan gaji yang terbilang kecil ditambah memiliki cicilan yang dianggapnya terlalu besar Bintang pun kewalahan dalam mengatur uang, bagaimana tidak sejak awal menikah Damar tak pernah memberikan uang sepeser pun untuk Bintang.
"Sumpah ya ini baru tanggal 16, aku udah nggak pegang uang sama sekali, aku selama ini kerja berangkat pagi pulang malem, aku nggak pernah ngerasain gaji aku, semuanya cuma abis untuk urusan rumah, kamu pernah nyadar nggak sih?" teriak Bintang pada Damar.
"Iya," jawab Damar dengan ekspresi datar.
"Aku nggak mau tau, kamu cari uang buat kebutuhan kita sampai akhir bulan," pinta Bintang tegas.
"Iya nggak tau, gaji ku pun sama habis," tambah Damar.