JEJAK SANG ARSIPARIS

Bulan
Chapter #2

Jejak di Balik Bayangan

Pagi datang dengan cara yang sama—sunyi, dingin, dan penuh tanda tanya.

Kael membuka matanya perlahan. Cahaya keabu-abuan dari luar jendela menyusup melalui celah tirai tua yang robek di beberapa bagian. Ia masih bisa mendengar dengungan listrik dari menara komunikasi kota, suara yang terus berbunyi sejak dulu, seperti pengingat bahwa segala sesuatu yang terjadi di sini selalu diawasi.

Ia bangkit dari tempat tidur dengan gerakan malas. Tubuhnya terasa berat, bukan karena kelelahan fisik, tetapi karena beban pikiran yang semakin menumpuk.

Sejenak, ia duduk di tepi ranjang, menatap lantai beton yang dingin di bawahnya. Kemarin, ia sudah memulai langkah pertama—mencatat kejanggalan, memperhatikan perubahan kecil yang mungkin terlewat oleh orang lain. Tapi itu belum cukup. Ada sesuatu yang lebih besar yang harus dia pahami.


Setelah membasuh wajah dengan air yang hampir sedingin es, ia menatap cermin retak di depan wastafel kecilnya. Wajahnya sendiri mulai terasa asing. Apakah ini dirinya yang sebenarnya? Ataukah ini hanya refleksi dari seseorang yang mulai kehilangan arah dalam pencariannya?


Ia menghela napas panjang. Tidak ada waktu untuk meragukan diri sendiri.

---

Udara di luar masih sama—dingin, dengan kabut tipis yang menyelimuti kota. Kael berjalan menyusuri trotoar, menyusup di antara orang-orang yang bergerak seperti mesin. Tidak ada tatapan, tidak ada interaksi, hanya manusia-manusia yang mengikuti rutinitas yang sudah ditetapkan untuk mereka.

Namun, di tengah keramaian yang sunyi itu, Kael merasakan sesuatu yang berbeda. Tatapan.

Ia tidak langsung menoleh. Mengabaikan adalah cara bertahan hidup. Tapi nalurinya sudah terlatih—seseorang sedang mengawasinya.

Langkahnya tetap tenang, tetapi pikirannya berpacu lebih cepat. Siapa? Sejak kapan? Apakah mereka tahu sesuatu?


Ia memutuskan untuk mencoba sesuatu.

Tanpa terlihat mencurigakan, Kael berbelok ke gang kecil yang sepi, tempat di mana kamera pengawas lebih jarang ditemukan. Jika seseorang benar-benar mengikutinya, mereka akan terlihat sekarang.

Dan benar saja.

Dari bayangan gedung di belakangnya, sesosok pria dengan mantel panjang muncul, berjalan lebih lambat seakan menimbang langkah berikutnya.

Kael menahan napas. Apakah ini akhir? Ataukah ini awal dari sesuatu yang lebih besar?

Dengan hati-hati, ia menyelipkan tangannya ke dalam saku mantel, meraba sesuatu—sebuah kertas kecil yang ia temukan kemarin di dekat gedung arsip pusat. Sebuah catatan tanpa nama, hanya berisi satu kalimat pendek:

Lihat selengkapnya