Ketakutan bukanlah sesuatu yang tiba-tiba datang. Ia merayap perlahan, menyusup ke dalam pikiran, hingga akhirnya mencengkeram tanpa ampun.
Kael terbangun dengan jantung berdebar. Matanya terbuka lebar, tubuhnya terasa kaku di atas lantai dingin bangunan tua yang menjadi tempat persembunyiannya semalam. Ia menahan napas.
Suara itu.
Langkah kaki.
Pelan.
Terukur.
Seseorang ada di luar.
Ia merapatkan tubuhnya ke dinding, menajamkan pendengarannya. Langkah itu berhenti tepat di depan pintu bangunan. Keheningan yang mengikuti terasa lebih menyesakkan daripada suara apa pun.
Lalu, ketukan.
Satu kali.
Dua kali.
Tiga kali.
Kael mengepalkan tangannya, berusaha mengendalikan detak jantungnya yang menggila. Ini bukan kebetulan.
Ketukan tiga kali adalah kode. Dulu, ketika masih ada kelompok perlawanan yang tersembunyi di dalam kota, mereka menggunakan pola ini untuk menandakan seseorang yang mencari perlindungan.
Tetapi Kael tidak bisa gegabah. Apakah ini jebakan?
Ia meraih pisau kecil yang ia simpan di dalam sepatu, mendekat perlahan ke pintu, lalu berbicara nyaris tanpa suara.
"Siapa?"
Hening.
Lalu suara serak, penuh kehati-hatian.
"Kael, buka. Kita harus bicara."
Kael membeku. Ia mengenali suara itu—Darin, seorang pria yang dulu bekerja sebagai kurir informasi sebelum segalanya runtuh. Jika Darin yang datang, berarti sesuatu yang besar sedang terjadi.
Tapi di dunia seperti ini, kepercayaan adalah barang mewah.
Kael menarik napas dalam, lalu membuka pintu sedikit, cukup untuk melihat wajah Darin yang basah oleh keringat, matanya liar seolah telah berlari jauh.
"Mereka mulai bergerak. Kau harus pergi sekarang."
---
Darin dan Kael berjalan cepat di gang-gang sempit, menghindari jalan utama. Kota ini masih tampak seperti biasanya—lampu jalan redup, poster propaganda berkibar tertiup angin, dan orang-orang berjalan dengan kepala tertunduk.
Tetapi sesuatu terasa berubah.
Patroli lebih banyak dari sebelumnya.