Kael terbangun dengan napas tersengal.
Mimpi itu masih jelas di kepalanya. Simbol yang ia lihat di alun-alun... sekarang muncul di dalam pikirannya, berputar, berubah menjadi pintu yang mengarah ke tempat yang tak ia kenali.
Darin masih tertidur, tapi matahari sudah tinggi.
"Kita harus pergi," kata Kael, mengguncang bahunya.
Darin mengerang pelan, lalu mengusap matanya dengan kesal.
"Baru juga tidur sebentar..."
"Aku punya firasat buruk," jawab Kael.
Mereka tidak bisa tinggal lebih lama di sini.
---
Mereka berjalan ke arah pusat kota, menyelinap di antara keramaian yang mulai sibuk.
Tetapi ada sesuatu yang aneh hari ini.
Patroli lebih banyak dari biasanya.
Prajurit berseragam gelap berdiri di setiap sudut jalan, berbicara dengan penduduk, menanyai mereka satu per satu.
Kael dan Darin langsung menundukkan kepala dan berjalan lebih cepat.
"Mereka mencari seseorang," bisik Darin.
Kael tidak menjawab. Ia sudah tahu siapa yang mereka cari.
Mereka harus menemukan tempat aman, tetapi sebelum mereka bisa pergi lebih jauh...
Kael merasakan seseorang menarik lengannya.
Ia hampir berteriak, tetapi suara pelan menghentikannya.
"Jangan bicara. Ikut aku."
Seorang wanita tua dengan pakaian lusuh berdiri di hadapannya.
Matanya tajam—terlalu tajam untuk seseorang seusianya.
Kael dan Darin saling berpandangan, tetapi tak ada pilihan lain.
Mereka mengikuti wanita itu masuk ke dalam sebuah toko roti tua yang sepi.