Hari 10 – Pagi yang Menghimpit
Fajar menyingsing dengan perlahan di balik reruntuhan loteng yang kini menjadi tempat persembunyian sementara. Kael membuka matanya, merasakan kelelahan yang terpendam namun juga kegelisahan yang belum kunjung reda. Di sampingnya, Darin terbaring dengan mata yang setengah terpejam, wajahnya menunjukkan beban mimpi buruk semalam.
Kael bangkit perlahan, menggeser tubuhnya dari lantai kayu yang dingin. Ia menyeka keringat di dahinya, lalu menatap sekeliling ruangan kecil itu.
"Kita harus mulai hari ini dengan pikiran yang jernih," gumamnya pada diri sendiri, meski bayang-bayang misteri dari malam sebelumnya masih membayang dalam pikirannya—simbol, petunjuk dari pria berjubah, dan kata-kata bahwa setiap jawaban memiliki harganya.
Tanpa banyak bicara, Kael mendekati jendela yang retak dan mengintip ke luar. Di jalanan, sinar matahari pagi memancarkan cahaya lemah melalui asap dan kabut kota yang terus menyelimuti. Di sana, di antara orang-orang yang mulai muncul untuk menjalani rutinitasnya, Kael dapat merasakan tatapan tak terlihat dari kamera dan mata yang mengamati setiap gerak-geriknya.
Darin terbangun perlahan, dan dengan suara serak ia berkata,
"Kita harus keluar. Tidak ada tempat untuk bertahan lama di sini."
Kael mengangguk. Mereka segera membereskan barang-barang seadanya dan meninggalkan loteng tua itu, menyusuri lorong-lorong sempit di mana sejarah kota yang terlupakan terasa di setiap dindingnya.
---
Siang yang Menguji
Matahari sudah naik, namun kehangatan yang seharusnya membawa kenyamanan hanya menambah kepedihan dan kengerian dalam hati Kael. Mereka berjalan menuruni jalanan yang dipenuhi bayangan dan bisikan rahasia. Setiap sudut tampak menyimpan rahasia, setiap rintik hujan yang tersisa dari malam sebelumnya seperti air mata kota yang tidak pernah berhenti menangis.
Di sebuah pasar kecil yang remang, mereka berhenti untuk mencari informasi lebih lanjut. Di antara pedagang yang enggan berbicara terlalu banyak, Kael mendengar potongan-potongan percakapan yang mengisyaratkan keberadaan kelompok yang menyebut diri mereka sebagai “Para yang Hilang.” Beberapa orang menyebutkan bahwa simbol yang sama—lingkaran dengan garis vertikal—muncul di berbagai lokasi di kota, seperti jejak yang ditinggalkan oleh mereka yang telah lenyap tanpa jejak.
Kael mendekati salah satu pedagang tua yang duduk di balik tumpukan sayur. Dengan suara pelan, ia bertanya,
"Bapak, apakah Bapak pernah mendengar tentang orang-orang yang tiba-tiba menghilang? Dan tentang simbol ini?"