Hujan turun deras membasahi tanah berlumpur di sebuah desa kecil yang dikelilingi hutan lebat. Di tengah bayang-bayang pepohonan, seorang pemuda berlari terengah-engah. Napasnya memburu, tubuhnya penuh lumpur, dan luka-luka kecil menghiasi kulitnya akibat ranting tajam yang menggoresnya sepanjang perjalanan.
Ia tidak memegang senjata. Kedua tangannya kosong, gemetar karena kelelahan. Dalam pikirannya, hanya ada satu tujuan: bertahan hidup.
Dari kejauhan, suara langkah kaki terdengar semakin mendekat. Teriakan penuh amarah menggema di antara pepohonan. Mereka masih mengejarnya.
Pemuda itu menggertakkan giginya. Ia tahu ia tidak akan bisa terus berlari.
Dengan sisa tenaga yang ada, ia menyelinap ke balik pohon besar dan berjongkok, menahan napas. Tubuhnya menempel di batang kayu basah, matanya memindai sekitar dengan waspada. Dalam kegelapan, beberapa sosok muncul.
Lima orang. Berpakaian gelap. Senjata terhunus di tangan mereka.
“Kemana dia pergi?” salah satu dari mereka bertanya.
“Dia tidak mungkin jauh,” jawab yang lain. “Cari di sekitar sini!”
Pemuda itu menelan ludah. Ia tidak bisa menghadapi mereka secara langsung. Ia tidak punya senjata, dan bertarung dengan tangan kosong melawan orang-orang bersenjata bukanlah pilihan cerdas.
Namun, saat ia hendak melangkah mundur, kakinya menginjak ranting kering.
KREK!
Detik berikutnya, tatapan tajam dari lima orang itu langsung tertuju ke arahnya.
“Di sana!”
Ia tidak punya pilihan lain.
Dengan cepat, ia melompat keluar dari persembunyian dan berusaha berlari. Tapi belum sempat ia melangkah jauh, seseorang dari mereka sudah mengayunkan pedangnya. Refleks, ia menunduk, namun ujung pedang itu tetap berhasil menyayat pundaknya.
“AARGH!”
Darah segar langsung mengalir, bercampur dengan air hujan yang membasahi tanah. Rasa panas menjalar di bahunya, namun ia tidak berhenti. Dengan penuh tekad, ia berbalik dan menendang dada orang yang menyerangnya.
Hentakan kuat itu membuat lawannya terhuyung ke belakang, tapi tidak cukup untuk menjatuhkannya. Yang lain segera mengepungnya.
Ia tidak terlatih menggunakan senjata. Tapi ia bukan orang lemah.
Dengan cepat, ia menghindari serangan berikutnya, melompat ke samping, dan menubruk salah satu dari mereka dengan bahunya. Namun, sebuah pukulan keras mendarat di rahangnya, membuatnya jatuh tersungkur ke tanah.
Lima orang itu tertawa kecil. Salah satu dari mereka menempelkan ujung pedangnya ke leher pemuda itu.
“Sudah selesai.”
Pemuda itu mendongak, menatap mereka dengan mata penuh amarah. Jika ini akhirnya, ia tidak akan pergi tanpa perlawanan.
Namun, sebelum pedang itu sempat bergerak lebih jauh—
SWOOSH!