Langkah mereka menggema di jalanan berbatu yang basah oleh hujan sebelumnya. Hanya sedikit orang yang tersisa di luar, sebagian besar telah masuk ke dalam rumah masing-masing, menjauh dari udara dingin yang menusuk. Namun, tiga sosok itu tetap berjalan, seakan tak terpengaruh oleh waktu maupun cuaca.
Nayla melirik ke samping, memperhatikan dua orang yang kini berjalan bersamanya. Tatapan mereka penuh tekad, tetapi ada sesuatu yang masih mengganjal di pikirannya. Mereka belum mengakuinya secara langsung, tetapi Nayla bisa merasakan pola pikir mereka yang begitu familiar.
“Kalian…” Nayla membuka suara setelah beberapa saat hening. “Kenapa begitu terobsesi dengan Macan Hitam?”
Si pemuda menoleh, ekspresinya tetap datar. “Karena Macan Hitam adalah simbol kekuatan. Keberadaannya menjaga keseimbangan.”
Gadis di sampingnya ikut menimpali, suaranya lebih lembut, tetapi tak kalah tajam. “Tanpa Macan Hitam, dunia menjadi kacau. Kami hanya ingin sesuatu yang seharusnya tetap ada.”
Nayla tersenyum tipis. Mereka masih belum mengatakannya, tetapi semakin jelas baginya siapa mereka sebenarnya.
“Tapi Macan Hitam sudah memilih jalannya,” katanya pelan. “Apakah kalian pikir kalian bisa mengubahnya?”