Malam itu, Nayla duduk di bawah atap sebuah bangunan tua, memandangi hujan yang tak kunjung reda. Udara dingin menembus pakaiannya, tetapi pikirannya jauh lebih kacau daripada rasa dingin yang merayapi tubuhnya.
Kata-kata dua orang itu masih bergema di benaknya. Mereka ingin mengembalikan kehormatan Macan Hitam. Tapi apakah itu benar-benar yang diinginkan oleh Ryo?
Dia menatap ke langit. Hujan seolah menggambarkan kebimbangannya.
Di masa lalu, Nayla tak akan ragu. Dia adalah bagian dari bayangan Macan Hitam, seseorang yang tak perlu mempertanyakan keputusannya. Tapi sejak Ryo berubah, sejak dia memilih keluarga di atas pertarungan, Nayla mulai merasakan sesuatu yang berbeda.
“Macan Hitam tak pernah mati…” gumamnya pelan.
Dia memejamkan mata, mengingat saat pertama kali bertemu Ryo. Betapa dirinya yang dulu hanyalah seorang gadis tanpa tujuan, sebelum Macan Hitam mengulurkan tangan dan menariknya keluar dari kegelapan.
Nayla menggenggam kedua tangannya erat.
“Apa yang harus aku lakukan?”
Suara langkah kaki menggema di kejauhan. Nayla segera siaga, menajamkan pendengarannya. Dari balik bayangan bangunan yang runtuh, muncullah dua orang yang sudah tidak asing baginya.
Si pemuda dan si gadis berdiri di sana, tubuh mereka basah kuyup oleh hujan.
“Kami tahu kau akan ada di sini,” kata si gadis.
Nayla berdiri, menatap mereka tanpa berkata apa pun.
“Kau sudah memikirkan ucapan kami?” si pemuda bertanya.