"Eh, udah lihat belum film terbaru di YouTube-nya Bang Irfan?" tanya salah satu mahasiswi Indonesia kepada teman di sampingnya.
"Bang Irfan yang baru bikin film yang judulnya Le Ciel Est Bleu, yang dipromoin KBRI?" Lalu sang teman menyodorkan ponselnya.
"Iya! Kan Bang Irfan punya kenalan lokal staf, nggak heran sampe dibikin acara sama KBRI. Denger-denger Bang Irfan mau ikut seleksi beasiswa S2 yang diadain sama Al-Barakaa Foundation kerjasama dengan KBRI. Syaratnya ada membuat karya yang mengedukasi masyarakat. Makanya dia akhir-akhir ini semangat banget bikin film. Tapi aku enggak tahu film yang baru ini, mau didaftarin ke pihak beasiswa atau enggak."
"Aku udah nonton setengah filmnya. Enggak mengedukasi sama sekali! Yang ini film tentang mahasiswa baru ketemu masisirwati[1] terus jatuh cinta dan ada adegan mereka berdua malah menjauh dari gerombolan teman-temannya. Itu kan ber-khalwat! Yang film sebelum ini ceweknya rashib[2] gara-gara diselingkuhin sama pacarnya. Gila ya, kalau Syekh Yusri lihat film itu, miris kali ya."
“Tapi yang berani kritik cuma dikit. Langsung ditanya, punya karya apa? Padahal netizen Indonesia sampe banyak yang nanya dan heran, ‘Ini beneran masisir yang buat?’ Malu enggak sih? Aku sih berharap ada masisir[3] lain yang bisa kalahin Bang Irfan untuk beasiswa.”
“Bener banget sih. Masa cuma karena dia punya privilese dekat sama KBRI dan punya tim anggota Kekeluargaan Jakarta, masa dia yang terpilih mendapatkan beasiswa. Enggak adil! Kamu aja yang daftar beasiswa. Lumayan lho kalau dapet. Al-Barakaa Foundation enggak ada perjanjian kita harus mengabdi di institusinya dan lumayan besar lho uang jajannya.”
“Aku mau lanjut S2 di Indonesia aja lah, hahaha.”
Setelah aku sadar bahwa Ruqa sudah menunggu di pintu kelas yang terbuka, aku berjalan dari bangku panjang kuliah yang tempat duduknya mirip stadion bola. Bangku-bangku panjang dari kayu disusun menjadi undakan-undakan, di pinggir kanan dan kiri terdapat tangga. Aula gedung lama didesain seperti ini supaya memudahkan para mahasiswi mendengarkan penjelasan dosen yang berada di tengah bawah tepat di depan papan tulis.
Tadinya aku berniat menunggu para mahasiswi yang duduk di pinggiran bangku meninggalkan tempat duduk supaya aku bisa keluar, berhubung aku duduk di tengah. Namun tanpa sadar aku malah mendengarkan gosip dari kedua mahasiswi Indonesia yang duduk di depanku.
Posisiku yang duduk di belakang kedua mahasiswi tersebut membuatku sangat leluasa melihat layar ponsel mereka. Aku bisa melihat video YouTube yang sedang mereka putar serta komentar netizen yang mereka obrolkan.
"Kamu dari tadi tidak melihat aku melambaikan tangan?" tanya Ruqa. "Aku bahkan meneriaki nama 'Melati.'"
"Maaf, aku tadi lagi berpikir tentang materi Hadits Ahkam tadi yang dijelaskan dukturah[4]. Susah ya."
"Kamu bohong. Aku melihat kamu menguping teman-teman Indonesia-mu bergosip, kan?" Kedua mata Ruqa yang tajam seakan menusuk kedua mataku yang sipit.
Perkenalkan, temanku Ruqa, nama pendek dari Ruqayyah. Dia campuran Amerika-Nubi. Nubi itu etnis yang berada di bagian selatan Mesir yang berbatasan dengan Sudan. Semua penduduk Mesir memiliki postur tubuh yang tinggi, sehingga aku yang notabene orang Indonesia yang bertubuh kecil harus mengimbangi langkah Ruqa yang besar-besar. Apalagi abaya hitam yang selalu dipakainya berukuran lebar sehingga memudahkannya untuk melangkah besar. Kami berdua sudah berteman sejak SMA di Ma'had Al-Azhar Bu'uts. Sekarang kami satu jurusan di Syariah Islamiyah.
"Mana Rana?" tanyaku.
"Dia sudah pergi terlebih dahulu. Seperti biasa, dia akan memakan tokmiyyah bil baidh yang cepat saji di cafe dan kembali berkutat dengan buku-buku diktat kuliah sepulangnya ke rumah."
"Bukankah dia mengajak kita untuk pulang bersama? Biasanya dia akan menyapa beberapa mahasiswi sepanjang jalan terlebih dahulu."
"Tapi kamu terlalu lama. Kamu tahu sendiri anak jenius itu tidak suka membuang waktunya. Mungkin saat kita sedang mengantri crepes yang antriannya panjang, dia sudah duduk manis di sofa apartemennya di Distrik Enam."