Jejak Semesta Kairo

Mare Jun
Chapter #3

Tiga

"Kak Mel!" Aila melambaikan tangan saat aku, Ruqa, dan Rana baru saja keluar dari gedung baru.

Sengaja aku mengajak Ruqa dan Rana keluar melalui pintu masuk Fakultas Kedokteran Gigi karena Aila sebelumnya mengirim pesan bahwa dia sedang mengantri bayar diktat di khozinah (tempat bayar) di gedung lama, tepat di samping gedung baru. Gedung baru memang dihuni oleh dua fakultas. Hanya saja pintu masuk Fakultas Kedokteran Gigi berada sejajar dengan deretan tembok gerbang masuk kampus. Sedangkan Fakultas Dirasat Islamiyah wal Arabiyah pintu masuknya berada di belakang gedung.

Biasanya kami memang lebih banyak di gedung baru. Hanya saja ada beberapa dosen yang terkadang meminta kami untuk kuliah di gedung lama lantai satu seperti perkuliahan kemarin. Sebenarnya aku lebih suka dengan ruang perkuliahan di gedung lama. Soalnya di gedung baru, aula ruang perkuliahan tidak didesain bangkunya seperti undakan tangga. Bangku-bangku panjang dari kayu terbentang hingga dinding kanan dan kiri beserta meja dan menyisakan jarak untuk jalan masuk para mahasiswi.

Sepertinya Aila berniat bertemu denganku akibat reuni kemarin berakhir canggung, karena aku terdiam selama mereka bertiga bersenda gurau.

"Dia Sofia Aila yang satu kelas denganku, bukan?" tunjuk Rana ke arah Aila yang berlari ke arah tangga keluar pintu fakultas sambil melambaikan tangan dengan heboh.

Aku mengangguk. Rana dan Aila sama-sama satu kelas di dua tsanawiy saat di ma'had. Sedangkan aku dan Ruqa di kelas tiga tsanawiy. Jelas saja kami berdua lebih tua, karena Rana dan Aila mengikuti tes akselerasi supaya bisa meloncati kelas tiga. Malah Rana pernah mengejekku dengan ukhtu kabirah-kakak-saat melihat tahun lahirku di paspor ketika kami sedang antri di syu'un (tata usaha). Menyebalkan. Begitulah orang pintar. Saat dia berusaha bercanda, tapi suka melukai hati dengan wajahnya yang sok tertawa lucu. Untung saja dia cantik. Dengan hidung mancung, alis tebal, ditambah kedua bola matanya berwarna hijau.

"Bukankah kamu pernah cerita dia sudah menikah dan mempunyai anak? Dia bahkan tingkahnya masih seperti siswi ma'had," cetus Ruqa.

Aku tertawa. "Meskipun begitu, dia sebenarnya dewasa lho. Sejak sekolah di ma'had dulu, dia sudah terbiasa mengurus keponakannya."

"Hai, Rana! Ruqa!" Aila segera memeluk Rana dan ... seperti biasa Ruqa menyetop Aila untuk memeluknya. Ruqa itu mirip denganku, risi dengan kontak fisik. Berbeda dengan Rana yang terkadang merangkul bahuku, yang berakhir kutangkis juga. Mereka berdua kini sedang menanggapi basa-basi Aila yang menanyakan kabar mereka.

"Kakak mau langsung pulang atau mau ke cafe?" bisik Aila kepadaku.

"Kita mau ngerjain tugas Qo'ah Bahst di apartemennya Rana," jawabku.

Kedua bahu Aila menurun. "Yah, padahal aku mau ngobrol sama Kakak."

"Ikut kita aja. Kamu bawa diktat yang baru dibeli kan? Kakaknya Rana dulu jurusan Tafsir juga. Kamu bisa dapat tutor gratis. Kamu banyak ketinggalan kuliah, kan?"

Aila mengangguk antusias. "Boleh?"

"Rana, apakah kakakmu ada di rumah? Aila ingin ikut dan bertanya soal materi kuliah yang tidak dipahaminya," ujarku kepada Rana dengan Bahasa Arab. Jika aku berbicara dengan Rana dan teman-teman kuliah dari negara lain, kami biasa memakai Bahasa Arab. Namun jika aku berbicara dengan Aila dan teman-teman dari Indonesia, tentu saja kami lebih nyaman berbahasa Indonesia.

"Boleh saja. Kakakku sedang tidak ke kampus karena mengerjakan revisi dari pembimbing tesisnya. Tapi dia senang sekali bisa membantu orang lain belajar."

"Oh iya, tapi Nisywah nggak apa-apa ditinggal di apartemen?" tanyaku kepada Aila.

"Rifqi seharian di rumah kok. Dia mau menebus karena udah ninggalin kita pas umrah. Jadi emang sengaja hari ini aku ke kampus walaupun aku ketinggalan jam kuliah tadi. Abisnya tadi di khozinah ngantri banget. Aku juga ke syu'un dulu buat ngurus tashdiq, mau perpanjang visa," ujar Aila.

Lihat selengkapnya