Meski matahari terbenam sudah lewat, pemandangan dari atas bukit Mokattam tetap menawan. Sebelumnya kami mampir untuk salat di Mandarah sekaligus membeli camilan di swalayan dekat sana.
Kami duduk di kursi plastik untuk menikmati kerlap-kerlip lampu Kota Kairo. Dari ketinggian, gedung-gedung apartemen nampak seperti kotak-kotak kardus di antara jalanan dan pasir. Hanya beberapa menara masjid yang terlihat menjulang tinggi. Makanya tidak heran negara ini disebut negeri seribu menara. Pemandangan ini sama seperti yang kulihat dari jendela pesawat yang bersiap untuk mendarat di Kairo. Kontras sekali saat pesawat mendarat di Indonesia yang penuh dengan pepohonan hijau. Aku jadi ingat dengan julukan zamrud khatulistiwa.
Jangan bayangkan bukit atau gunung di Mesir itu layaknya di Indonesia yang penuh dengan pepohonan rimbun. Di sini hanya ada batu dan pasir. Namun tetap indah karena kerlap-kerlip lampu temaram ditambah langit Kairo yang jernih, terlihat jelas bintang-bintang di langit.
"Kamu kok pake jaket tipis? Ini kan udah mau peralihan ke musim dingin," cetus Fatih membuyarkan keasyikanku menikmati angin semilir yang menerpa pashmina berwarna salem yang kupakai.
"Ini cardigan namanya, Tih."
"Ya, sama ajalah. Kalau aku tahu kamu datang, aku ambil dulu jaket di asrama Bu'uts. Kamu kan suka nggak pake jaket tebal."
Pipiku menghangat. Aku berdoa semoga tidak memerah. Aku berusaha keras untuk tidak menatap hidung mancungnya yang membuat hatiku berdesir. Pasti rambut lurusnya terlihat memukau diterpa angin. Seperti halnya bintang video klip yang mendramatisir. Namun semuanya buyar kala Aila berbicara.
"Kak Mel kan dari dulu nggak mau pake jaket tebel karena takut kelihatan gendut. Padahal dari dulu juga nggak gendut-gendut. Orang makannya juga dikit."
Sontak aku mencubit lengannya. "Aku punya jaket tebel kok!"
"Iya setelah keliling Downtown dan nemu jaket yang mirip dipake sama artis-artis Korea. Harganya setara kayak uang makanku sebulan."
"Hina terus. Temen kerjaannya ngehina."
"Ada yang ngikutin nih." Fatih tertawa sambil memasukkan kuaci ke dalam mulutnya.
Lalu pesanan minuman hangat kami datang. Aku dan Aila memesan teh hangat dengan daun mint, sedangkan Rifqi dan Fatih memesan kopi hitam. Meskipun yang meminum teh milikku adalah Aila. Aku lebih suka minuman dingin ketimbang hangat. Berhubung di Mesir tidak ada teh botol dingin, aku membeli pinacolada di swalayan tadi. Meski musim dingin, aku tahan banting dengan tetap minum es bahkan eskrim. Satu-satunya minuman panas yang kusuka adalah cokelat.
Harusnya aku senang bisa berkumpul lagi karena kami sudah jarang berkumpul bersama. Terakhir saat kami jalan-jalan ke Alexandria bersama Ayah. Namun kini aku malah merasa asing. Rifqi berceloteh tentang perjalanan umrahnya yang tentunya untuk ke sekian kalinya. Aila tentu saja menambahkan pengalaman-pengalaman Rifqi sebelumnya yang terlupakan untuk diceritakan.
Belum lagi Fatih yang menceritakan kegiatannya sebagai Presiden PPMI. Aku pusing mendengarkan politik masisir. Jangan salah ya, politik masisir juga sama pusingnya dengan politik di tanah air. Dua kubu itu saja dari sejak dulu saling memperebutkan kursi pejabat PPMI. Pastinya yang mereka incar adalah mendapatkan jatah tenaga haji musiman (temus) yang gajinya bisa membeli laptop dan ponsel terbaru.
Ternyata janji Aila soal ingin membicarakan project film dokumenter hanya pancingan supaya aku ikut saja. Aslinya mereka sama sekali tidak peduli. Padahal aku masih menganggap mereka teman. Aku tahu jika mereka mempunyai kehidupan masing-masing, tapi kepada siapa lagi aku meminta tolong? Apalagi Fatih tidak senang saat aku berbicara soal beasiswa, padahal kami baru saja mengobrol kembali semenjak dia menghindariku selama hampir setahun. Aku jadi kesal dengan Ayah atas kejadian setahun lalu ketika Ayah mengunjungiku ke Mesir.
***
Setahun yang lalu.
“Hebat juga ya kalian bisa menyetir di Mesir. Pasti harus adaptasi dulu sama tempat duduk sopir di sebelah kiri, bukan kanan. Terus jalanan Mesir kebanyakan lebar-lebar. Beda sama Indonesia, apalagi Jakarta yang banyak gang sempit,” celoteh Ayah sewaktu kami bersantai di Wisma Kekeluargaan Jakarta.
Baru saja kami pulang dari menginap selama dua hari di Alexandria. Aku mengajak Aila, Rifqi, dan Fatih untuk menemani Ayah berjalan-jalan di Alexandria. Aila yang memesankan penginapan milik kenalannya masisir dekat pesisir pantai Mandarah. Rifqi dan Fatih yang bergantian menyetir Kairo-Alexandria.
“Saya belajar dari dia, Om. Dia sering antar jama’ah travel yang umrah plus ke Kairo,” tunjuk Fatih kepada Rifqi.
“Justru kita itu baru bisa nyetir di Kairo, Om. Kalau pulang ke Indonesia harus adaptasi nih.” sahut Rifqi.
“Oh iya, tahun depan kalian udah tahun terakhir ya di Al-Azhar. Ada rencana apa selanjutnya?” tanya Ayah.
“Saya dan Aila masih tahun depannya lagi, Om. Sekarang lagi cuti sejak istri lahiran di awal tahun,” ujar Rifqi.
“Kalau Fatih? Sudah ada rencana? Apa mau menikah?” Ayah beralih menatap Fatih yang duduk di sisi kanannya.