Aku mencoret-coret catatan pada buku yang sudah lama kusimpan di nakas samping tempat tidur. Buku catatan dengan sampul berwarna salem ini berisi semua yang berkaitan dengan perencanaan syuting Jejak Papyruz dulu.
Hanya saja catatannya tidak banyak karena kami hanya membuat vlog biasa. Bukan film pendek atau dokumenter. Malah kebanyakan tercetus ide dadakan. Ya, dulu aku tidak merasa pusing karena aku mempunyai partner tiga orang.
Ruqa sama sekali tidak membantuku untuk riset. Dia malah dia sibuk mengamati perabotan yang ada di kamarku. Seperti karpet dengan motif khas Maroko, bean bag dengan corak yang sama di samping ranjang, piringan emas khas Mesir kuno di atas nakas beserta lampu fanous dan tempat lilin dari marmer dengan ukiran kaligrafi di luarnya, kaligrafi yang terukir di atas kain kiswah yang semuanya kubeli di Pasar Khan Khalili. Aku sangat suka semua yang berbau vintage dan Pasar Khan Khalili adalah sasaran yang empuk untuk mencari barang-barang unik.
"Kenapa kamu murung?" tanya Ruqa yang akhirnya menengok ke arahku.
"Ternyata membuat film dokumenter atau film pendek itu sulit ya. Aku juga bingung membedakannya. Di video ini hanya menjelaskan secara umum tentang film dokumenter. Sedangkan video yang ini seorang dosen menjelaskan tentang film dokumenter, tapi isinya mirip sama pembuatan film secara umum. Lalu apa bedanya film dokumenter dengan film fiksi? Bahkan di komentarnya ada yang menanyakan perbedaannya." Aku menunjuk layar laptop-ku.
"Bagaimana kalau kita menggabungkan keduanya?"
"Maksudnya?" Aku mengerutkan kening.
"Kita bikin film pendek dengan rasa dokumenter. Coba aku lihat." Ruqa mengambil catatan milikku. "Kenapa kamu menuliskannya dengan Bahasa Indonesia?"
"Karena aku orang Indonesia."
"Kamu mau aku bantu atau tidak?"
"Oke, oke, jangan marah. Sini kuterjemahkan. Pertama-tama kita harus menentukan tema film."
"Tema film sudah ada. Suara orang-orang yang tertindas." Ruqa menuliskan voice of the oppressed pada buku tulisku.
"Biasanya dalam penulisan skenario film ada yang namanya logline atau intisari cerita film yang isinya karakter dengan tujuan dan halangan. Mirip premis dalam penulisan novel sih menurutku. Aku nggak tahu kita memerlukan logline atau nggak dalam film dokumenter kita kali ini."
"Kita adakan saja. Tapi mungkin rumusnya bukan karakter dengan tujuan dan halangan. Namun lebih ke karakter dan tujuan saja. Aku sebenarnya ada gambaran filmnya seperti apa. Seseorang berjalan menyusuri jalanan Kairo mencari diaspora negara-negara yang berkonflik. Kita bisa isi dengan wawancara kenapa dia bisa sampai di Kairo. Apa yang terjadi di negaranya? Terus apakah ada kendalanya selama hidup sebagai diaspora di Mesir? Kita juga bisa menyorot pekerjaannya jika orangnya tidak keberatan. Oh, sekaligus memperkenalkan makanan khas negaranya seperti yang kamu cetuskan di apartemen Rana sebelumnya."
"Wah, keren kamu! Aku tulis ya."
Lalu aku mulai membuat logline. Untuk alur cerita atau plot aku membaginya ke tiga babak. Babak pertama perkenalan si penjelajah. Kedua, petualangannya mencari diaspora dan mendengarkan pengalaman mereka. Ketiga, kesimpulan dari petualangannya.