Jejak Semesta Kairo

Mare Jun
Chapter #8

Delapan

"Aku mau membuat pengakuan." Aku menarik lengan Ruqa usai perkuliahan. Aku berencana akan menceritakan soal kejadian di Istanbul dua tahun yang lalu setelah kemarin aku mati kutu dicecar oleh Kenzie secara bertubi-tubi.

"Oh, rupanya kamu yang menyoret diktat miliknya?" Ruqa menunjuk Rana di samping kanannya yang sedang mengobrol dengan dua mahasiswi Mesir membahas materi Qadhaya Mu'ashirah tadi. Lalu mereka mengejar dukturah yang bangkit dari bangkunya dan menuju pintu keluar ruang kuliah. Kami sekarang berada di gedung baru lantai tiga.

"Bukan! Ayo, kita mengobrol sambil makan di cafe. Aku mau beli pizza firakh di cafe."

"Pizza firakh jangan yang plus Pepsi. Ingat, kita harus boycott semua produk yang mendukung Israel."

"Iya, iya, aku tahu. Kamu sudah mengirimkanku list beserta situs untuk mengecek produk apa aja yang pro Israel. Aku akan minta tanpa Pepsi."

Saat keluar, kami melewati Rana dan mengajaknya untuk makan pizza di cafe. Dia mengiakan dan kini berjalan bersama kami menuruni tangga. Rana segera pergi ke deretan cafe. Di sana juga tersedia beberapa deretan mesin pendingin yang menyediakan bermacam-macam minuman dari mulai soda, jus, atau yogurt. Ada banyak macam-macam camilan, tapi menurutku lebih juara camilan di Indonesia. Mungkin lidahku masih kurang pas dengan beberapa rasa makanan Mesir.

Aku dan Ruqa bertugas untuk mencari tempat duduk di gazebo di depan cafe. Sekitar ada dua gazebo dari kayu di sini. Tidak ada tempat berteduh karena hanya ada sekitar dua-tiga pohon yang tidak bisa menaungi kami karena kurang rimbun dedaunannya. Mungkin jika di puncak musim dingin Desember-Januari nanti yang didominasi dengan langit mendung, kami tidak masalah tidak mencari tempat berlindung dari terik matahari. Asal jangan makan sambil jongkok ya. Di Mesir aib jika seorang wanita berjongkok di tempat umum.

Di seberang cafe terdapat toko berjualan aneka tas, topi, dan aksesoris lainnya. Meskipun aku lebih suka membelinya di depan gerbang kampus. Serius deh penjual depan gerbang kampus sama ramainya dengan Pasar Tanah Abang. Terlalu berlebihan deh, Mel, kamu kan udah lama tidak ke Tanah Abang.

"Kamu mau membuat pengakuan apa?" tanya Ruqa.

Aku pun menceritakan perjalananku di Istanbul sedetail mungkin kepada Ruqa. Rana yang baru datang pun ikut mendengarkannya sambil menyantap pizza yang masih hangat.

"Kenapa kamu harus sombong seperti itu?" tanya Ruqa.

"Kan tadi aku sudah bilang. Dia yang sombong terlebih dahulu. Kamu mendengarkan tidak sih?"

"Mungkin saja dia tidak bermaksud untuk sombong. Dia hanya menjawab apa yang ditanyakan temanmu," ucap Rana.

Jelas dia tidak paham artinya sombong, karena kerap kali dia berbicara, "Memangnya kamu tidak mendengar dukturah bilang apa? Kita duduk di depan mukanya." Bagi Rana yang pintar, yang selalu mengajak duduk tepat di seberang dosen, dia tidak berhak berkata seperti itu. Meskipun dia duduk di undakan bangku paling belakang pun, dia masih paham dengan penjelasan dosen. Berbeda dengan diriku.

"Kenapa kalian jadi menyudutkanku?" protesku.

"Ya, karena kamu salah!" sahut Ruqa dan Rana kompak.

Lalu Rana beranjak dari bangku gazebo. "Kamu harus minta maaf kepada yang namanya Kenzie. Walaupun kita harus tunduk pada aturan agama kita soal hubungan dengan lawan jenis, bukan menjustifikasi kita untuk berkata menyakiti hati kepada pria lain. Aku pulang duluan. Kalian nikmati saja dulu."

Ruqa menyilangkan tangannya. "Dengarkan apa kata ustazah kita tadi."

"Aku harus minta maaf gimana?"

"Telepon atau kirim pesan. Kamu seperti orang yang hidup di zaman purba."

"Aku tidak punya nomornya."

Lalu Ruqa mengeluarkan ponselnya. Dia mengetikkan sesuatu dan ponselku bergetar.

"Itu nomornya. Aku sempat memintanya saat kamu berbicara dengan Amr."

Aduh, aku harus berkata apa nih? Berkali-kali aku mengetik dan menghapus pesan yang ingin kukirim ke Kenzie.

"Kamu lama sekali. Kamu minta maaf lewat puisi?" sindir Ruqa.

"Ah, lupakan saja ide untuk membuat film." Aku memasukkan ponsel ke dalam ransel.

"Kenapa kamu menyerah? Ayolah, saudara kita di Palestina membutuhkan suara kita. Kamu juga harus mendapatkan beasiswa itu. Kenzie orang yang tepat untuk menjadi tim kita karena dia youtuber terkenal. Dia pasti sudah mahir untuk urusan ini. Sedangkan kita berdua masih amatir."

"Kita bahkan nggak punya kenalan orang Palestina atau keturunannya. Lupakan saja ambisiku untuk mendapatkan beasiswa. Mungkin takdirku untuk mengurus sekolah sampai aku tua dan diatur semua rencana masa depanku oleh Ayah."

"Allah akan membukakan jalan. Jangan menyerah. Siapa tahu Kenzie jawabannya. Dia sudah menawarkanmu untuk membuat film. Pastinya dia punya sumber dan ide brilian sebelum mengajakmu. Aku lihat di Instagram miliknya, dia sudah menyuarakan stand with Palestine sambil memakai keffiyeh dan dia cukup vokal akan hal ini."

"Oh, apa ini? Kamu sampai tahu Instagram milik Kenzie. Kamu naksir berat?"

"Jangan mengalihkan isu. Ternyata cukup mudah untuk mencarinya karena dia terkenal di Instagram, dia youtuber, kan?"

"Lebih baik kita mengubur project membuat film. Kita bisa peduli dengan Palestina dengan berdonasi, mengecam apa yang dilakukan Israel, dan share sebanyak-banyaknya di sosial media dari jurnalis Palestina."

Lihat selengkapnya