Aku berhasil merekam aksi mendukung Palestina yang memenuhi jalanan dalam kampus Kuliyyah Banat, terutama jalanan dekat dinding yang mengelilingi kampus. Katanya pawai ini akan berlangsung selama tiga belas hari berturut-turut.
Berhubung suara yang ikut aksi Palestina saling bersahut-sahutan, jadi hanya keributan yang terdengar saat aku memutar hasil rekaman. Namun bendera Palestina dan tulisan yang diacungkan para mahasiswi terekam jelas.
"Kamu ahli juga dalam mengambil video," puji Ruqa.
"Kamu sudah lihat hasil vlog di YouTube Jejak Papyruz, kan? Siapa lagi kalau bukan aku yang ahli." Aku menepuk dada.
"Kalau begitu Ken tidak salah memilihmu sebagai kameramen."
"Ken? Ken-nya Barbie?"
"Kependekan dari Kenzie. Aku tidak merujuk dari Barbie. Aku benci dengan film itu yang menjunjung feminisme tapi bungkam terhadap wanita di Palestina."
"Aku lihat kamu membuat pengumuman bahwa kamu akan black-list penulis yang tidak bersuara soal Palestina, seperti tidak mau mempromosikan bukunya, boycott semua karyanya. Bukankah itu terlalu ekstrem? Bisa saja dia peduli tapi tidak menunjukkannya di sosial media."
Ruqa mengembuskan napas. "Sebagai konten kreator, apa yang kamu lakukan supaya karyamu dikenal?"
"Personal branding?"
"Betul. Supaya karya kamu disukai dengan banyak orang, apa yang kamu lakukan?"
"Melakukan riset tentang apa yang sedang tren, meskipun tidak melulu membuat karya mengikuti tren, tapi riset itu penting supaya membaca pasar."
"Lagi-lagi betul. Lalu apa yang menghambat mereka untuk mengetahui isu Palestina? Para jurnalis terang-terangan memublikasi genosida di sana. Seorang penulis yang mempunyai banyak pengikut sudah seharusnya bersuara karena dia mempunyai privilese untuk memengaruhi banyak orang. Kita tidak bisa memisahkan karya dari orangnya."
"Ruqa, tapi kamu tidak bisa menganggap semua orang yang tidak vokal tentang Palestina di sosial media adalah orang-orang yang tidak peduli. Dulu aku pernah di posisi merasa beberapa mahasiswa yang semangat berkoar-koar soal Palestina sambil mengibarkan bendera di acara penggalangan dana sangatlah berlebihan. Dulu aku belum tahu apa artinya Masjidil Aqsa bagi umat Islam. Aku tidak memikirkan penderitaan orang-orang dalam keadaan perang karena mungkin aku hidup terlalu nyaman. Setiap orang mempunyai waktu yang berbeda untuk sampai di titik yang peduli seperti kita. Bisa jadi mereka peduli, tapi tidak menunjukkannya."
"Kamu betul. Kamu selalu hidup di negara dengan muslim sebagai mayoritas. Kamu tidak pernah merasakan perasaan direndahkan hanya karena warna kulitmu berbeda dan memakai hijab. Aku lebih mudah berempati karena aku tahu bagaimana rasanya, Melati. Aku merasakan sakitnya ketika diriku ditindas dan orang-orang yang tahu hal itu memilih untuk diam."
Dadaku seperti tertusuk berbagai pisau dari mulut Ruqa. Meskipun aku meminta maaf dan dia memaafkan, tidak lantas membuatku lega.
Ruqa pernah bercerita kalau dia pernah diludahi, diikuti, bahkan hampir dilecehkan saat di Kanada dulu. Sewaktu dia melaporkannya kepada polisi setempat, malah diabaikan.
"If you're Black and Muslim, then your experiences are worse," ujar Ruqa saat menceritakan hal itu. Dia tidak menceritakannya secara panjang dan aku tidak ingin memaksanya karena aku tahu dia mengalami trauma mendalam.
Aku jadi paham dengan Ruqa yang vokal menyuarakan ketidakadilan. Aku sudah bertekad supaya film dokumenter voice of the oppressed bisa terealisasikan.
***
Sudah hampir seminggu aku kebingungan untuk memulai kembali project film yang tertunda. Tiba-tiba hari ini Amr mengundangku untuk astro trip lewat pesan. Jumat ini mereka akan mengunjungi Observatorium Kottamia. Ya ampun! Itu kan obsevatorium terbesar di timur tengah, kan?