Sepanjang jalan menuju apartemen Kenzie, kami berdua hanya terdiam. Kenzie duduk di samping sopir, sedangkan aku di belakang. Namun perjalanan hanya sekitar lima belas menit dan sampai di depan gedung apartemen Kenzie.
Bentuk gedung apartemennya kurang lebih mirip dengan di Nasr City. Berwarna cokelat dan terlihat jendela beserta balkon. Kebanyakan apartemen yang berada di Kairo memiliki jendela dua rangkap. Rangkap pertama jendela kayu yang memiliki lubang udara berupa garis-garis horizontal. Rangkap kedua adalah jendela kaca seperti pada umumnya. Mungkin karena di Mesir sering terjadi badai pasir, terutama di puncak musim panas, jendela rangkap tersebut bisa menghalau debu masuk.
Aku pernah dengar penuturan dari salah satu guru Sekolah Indonesia Cairo (SIC) yang tinggal di daerah Dokki juga, katanya harga apartemen di sini dua kali lipat dari Nasr City. Orang-orang Indonesia yang bekerja di KBRI dan SIC beberapa tinggal di sini karena lebih dekat ke tempat kerja.
"Apartemennya di lantai dua Mesir," ujar Kenzie saat kami menaiki tangga.
Aku tertawa. Ini sudah tradisi di antara masisir. Jika di Indonesia, jumlah lantai gedung akan dihitung dari lantai bawah. Sedangkan di Mesir, lantai bawah tidak dihitung dan disebut dengan ardhiyah. Lalu lantai selanjutnya akan dihitung sebagai lantai satu. Jadi masisir biasanya akan bertanya, "Lantai dua Mesir atau Indo?"
Kenzie memasukkan kunci ke dalam lubang pintu di bawah knop. Rupanya memang kebanyakan apartemen di Kairo memiliki knop pintu yang hanya bisa dibuka dari dalam. Jika dari luar harus dibuka dengan kunci. Alternatif lainnya harus memencet bel jika lupa membawa kunci.
"Zie, makan duluan. Soalnya Om ada urusan kantor. Sam masih di luar. Tante udah makan." Seorang wanita berjilbab merah muda dan mengenakan baju rumah bunga-bunga menengok dari arah dapur. Dapur terletak tepat di depan pintu masuk. Dia sedang berdiri di depan wastafel. Sepertinya dia sedang mencuci semua peralatan dapur sehabis masak. Dan kutebak Sam adalah sepupu Kenzie.
Namun saat wanita itu melihatku, dia segera menghampiri kami. "Ini temen kamu? Tumben bawa temen."
"Temen dari ASMM, Tan," jawab Kenzie.
"Katanya udah nggak ada orang Indonesia."
"Baru gabung, Tan. Tapi dia tinggal di Nasr City. Kuliah di Azhar."
Aku menyalami tantenya Kenzie dan mengucapkan namaku.
"Ya udah ajak makan juga. Tante mau salat dulu di kamar." Dia berjalan melewati ruang tamu dan masuk ke ruangan di sebelah kanan. Dari tempatku berdiri, terlihat ada empat pintu. Satu di kanan yang dimasuki oleh tantenya Kenzie, lalu di sebelah kiri, dan dua pintu di tengah koridor.
"Belum makan, kan? Makan dulu ya." Kenzie mengajakku ke meja makan yang berada tepat di samping ruang tamu.
"Aduh, nggak usah. Nanti aku makan di luar aja."
"Nanti tanteku marah kalau kamu nggak ikut makan. Udah makan aja. Ada sayur asem nih. Eh, tapi kalau kamu sering ke Kekeluargaan Jakarta pasti sering disuguhin ini kalau ada acara, kan?" Kenzie menarik salah satu kursi kayu dengan bantalan bunga-bunga.
"Aku jarang ke sana. Terakhir pas acara filmnya Bang Irfan itu." Akhirnya aku ikut menarik kursi karena tergiur dengan sayur asem dan ayam goreng. Ada ikan asin pula. Pasti ikan asinnya titipan dari masisir yang pulang ke Indonesia. Ada masisir yang jual juga sih. Jadi masisir ada yang berbisnis produk makanan dari Indonesia seperti saus, kecap, kacang hijau, dan semua yang tidak ada di Mesir.
Sayur asem yang kami buat di Mesir isinya unik. Berhubung tidak ada melinjo, kacang panjang, labu siam, kami memakai wortel dan buncis. Untuk asam mudanya, ada yang menjual tamarind yang sudah dikupas dan dipadatkan menjadi berbentuk kotak. Biasanya dijual di Ataraat.
"Sebenarnya aku pernah lihat kamu di acara Jakarta Event tiga tahun yang lalu," kata Kenzie sambil menyodorkan piring kepadaku.
"Oh, itu waktu aku tingkat satu. Gara-gara aku pernah utang budi minta tolong untuk keperluan syuting YouTube Jejak Papyruz yang meliput info tentang kekeluargaan. Terus orang yang aku mintain tolong itu jadi ketua Jakarta Event. Akhirnya aku ditodong jadi panitia. Aku jadi penerima tamu waktu itu."
"Ketua panitianya Bang Irfan, kan? Pantesan kamu dipilih, biasanya dia milih yang cantik buat jadi penerima tamu."
"Kamu sering ngegombal sama cewek yang baru kamu kenal ya?"
Kenzie tertawa. "Ini bukan gombal, tapi aku serius. Emang Bang Irfan begitu. Aku kan kenal."
"Kalau nggak salah kamu lumayan deket sama anak-anak kekeluargaan. Tapi kata kamu jarang ke sana, cuma pas acara aja."
"Emang jarang ke sana. Aku datang ke acara kekeluargaan karena nggak enak sama mereka. Kita biasanya nongkrong bareng aja. Ngajak ke cafe-cafe hidden gems. Sori ya kalau aku termasuk masisir yang kerjaannya nongkrong di cafe kayak di filmnya Bang Irfan."
Ah, lagi-lagi Kenzie menamparku dengan ucapanku saat aku mengomentari filmnya Bang Irfan. Padahal sebelum aku kenal Aila, Rifqi, dan Fatih, aku juga sering nongkrong di cafe. Namun aku berubah karena Aila anak rumahan, Rifqi rajin talaqqi, dan Fatih sibuk kerja sambilan.
Aku merasa diriku sombong dengan melabeli orang lain yang hobi nongkrong di cafe dan membuat film adalah mahasiswa dengan masa depan suram. Namun bergaul bertahun-tahun dengan kru Jejak Papyruz mengubahku menjadi lebih baik, yaitu rajin kuliah dan jarang membuang waktu seperti nongkrong di cafe.
"Kamu tahu dari mana aku dekat dengan anak-anak kekeluargaan?" Kenzie membuyarkan lamunanku.