Di Jumat ketiga syuting menghitung arah kiblat di masjid-masjid Kairo kali ini dengan personil yang lengkap. Ruqa bisa menemaniku untuk memantau di belakang layar. Asalkan nanti malam aku harus menginap di apartemennya karena bibinya berada di Istanbul selama dua pekan.
Pastinya ada Fatih juga. Meskipun syuting harus rampung sebelum asar karena dia ada kegiatan lain. Jika tidak ada Ruqa di sampingku, pasti aku sudah salah tingkah saat melihat Fatih duduk di bangku tak jauh dari eskalator sambil membaca buku. Fatih segera berdiri saat melihat kami.
"Assalamualaikum." Fatih tersenyum.
"Kalau ada Ruqa, kamu salam. Kalau nggak ada, nggak pake salam," cibirku setelah menjawab salamnya.
"Eh, aku selalu salam kalau nelepon, ngirim pesan. Bukannya kamu suka yang lupa pake salam?"
Ruqa segera berdiri di antara aku dan Fatih. "Dilarang memakai bahasa kalian. Supaya aku tahu apa yang kalian bicarakan. Siapa tahu kalian saling menggombali satu sama lain."
Aku dan Fatih tertawa. Bahkan saat kami ingin menaiki eskalator untuk menuju mesin kartu sebelum keluar Stasiun Metro El-Sayeda Zeinab, Ruqa dengan sigap berdiri di antara aku dan Fatih. Aku malah merasa Ruqa adalah ibu yang menemani anak-anaknya. Aku jadi ingin tertawa melihatnya yang protektif begini.
"Kita mau ke masjid apa?" tanya Fatih.
"Ke Masjid Sayeda Zeinab. Katanya Kenzie udah di sana."
"Kita jalan kaki ya. Aku lihat di map kalau jalan kaki sekitar empat belas menit dari stasiun," usul Fatih.
"Jangan percaya sama Google Maps. Aslinya lebih jauh dari perkiraan waktu."
Saat aku ingin membuka aplikasi taksi online, malah Ruqa menyetujui usulan Fatih.
"Kita naik tuk-tuk aja deh biar lebih murah." Aku berusaha membujuk mereka. Tuk-tuk itu semacam bajaj kalau di Indonesia. Hanya saja tuk-tuk tidak seberisik bajaj.
"Jalan, Melati. Supaya kamu sehat. Katanya kamu mau berhemat demi tabungan masa depan." Ruqa menepuk bahuku.
Pokoknya nanti kalau ada kedai jus, aku mau beli jus tebu dicampur jeruk untuk meloloskan dahaga. Meskipun masih di musim dingin, tetap saja capek jalan sejauh ini.
Fatih dan Ruqa menertawakanku yang meminta untuk istirahat berkali-kali.
"Ini tidak terlalu jauh. Kamu jangan manja," ujar Ruqa.
"Kalian, orang Mesir, sering bilang jalannya dekat. Nyatanya jauuuuuhh banget. Kalian nggak berperasaan," sungutku. Masa bodoh dia tersinggung. Namun ternyata Ruqa malah tertawa.
Akhirnya kami sampai di depan Masjid Sayeda Zeinab. Ternyata masjidnya besar juga ya. Masjidnya dikelilingi pagar besi berwarna hitam yang tinggi. Di sekitar pagar ada beberapa pedagang yang menjajakan barang dagangan di atas trotoar. Pada kubahnya terdapat garis zigzag berwarna hijau. Selain terdapat tulisan Sayeda Zeinab di dekat menara masjid, di sampingnya ada tulisan Allah dan Muhammad Rasulullah. Setelah mendekati pagar, aku segera menelepon Kenzie.
"Sebentar, mobilku parkirnya agak jauh."
Ruqa mengajak kami untuk masuk ke dalam. Aku menuliskan pesan kepada Kenzie bahwa kami menunggunya di dalam. Aku baru tahu jika masjid ini namanya dinisbatkan kepada cucu Nabi Muhammad. Sayeda Zeinab merupakan anak Ali bin Abi Thalib dan Fatimah, anak Rasulullah.
"Tih, katanya di dalamnya ada makam juga. Itu makamnya Sayeda Zeinab, cucunya Rasulullah?" tanyaku saat kami berjalan di halaman masjid untuk menuju pintu masuk.
"Aku pernah denger, katanya makam di sini itu bukan makamnya Sayeda Zeinab cucunya Rasulullah. Itu udah tersebar di kalangan masisir. Jadi aku juga nggak tahu sumbernya dari mana."
"Halo! Udah lama?" Kenzie tiba-tiba muncul di antara aku dan Fatih saat kami sedang melepas sepatu sebelum masuk masjid.
"Kamu bawa mobil?" tanyaku.