Jejak Semesta Kairo

Mare Jun
Chapter #22

Dua Puluh Dua

"Mel, jangan lupa kabarin Fatih kalau Jumat depan kita akan ke apartemen keluarganya Farouk. Dia udah setuju untuk diwawancarai. Habis jumatan InsyaAllah," ujar Kenzie kepadaku.

Sesuai janji Jumat pekan sebelumnya, kami menghadiri seminar di Masjid Mostafa Mahmoud di hari Jumat ini. Kini kami sedang duduk bersama di aula Masjid Mostafa Mahmoud setelah menghadiri seminar tentang astronomi di peradaban Islam. Tadi Kenzie sempat menyorot video cuplikan seminar. Namun isi seminarnya tidak sepenuhnya masuk ke video karena seminar hanya diikuti bagi yang hadir di aula Masjid Mostafa Mahmoud.

Lalu Kenzie juga sempat mewawancarai Amr sebagai ketua ASMM. Dalam wawancaranya, Amr membeberkan event Perseids Meteor Shower di White and Black Desert bulan Agustus nanti. Makanya kami masih berada di sini sampai menjelang asar.

Kenzie sempat mengobrol dengan pria Arab berkacamata yang sekarang aku baru tahu bahwa dialah Mostafa. Makanya Kenzie mengingatkanku soal wawancara dengan teman Suriah-nya yang bernama Farouk itu.

Masalahnya, Fatih masih marah kepadaku. Dia sama sekali tidak mengirim pesan dan aku cukup tahu bahwa dia benar-benar marah.

"Nanti aku coba hubungi dia," ucapku kepada Kenzie.

Setidaknya aku harus mencoba dulu. Atau aku minta maaf kepadanya ya? Sebenarnya aku minta maaf untuk apa? Aku sudah klarifikasi soal ada tantenya Kenzie di apartemen. Iya, aku salah menerima ajakan Kenzie. Seharusnya aku menolak diajak ke apartemennya. Kenzie bukan mahasiswa yang belajar di jurusan agama, wajar dia tidak tahu soal ini. Memang aku yang berhak dipersalahkan. Hanya saja Kenzie sewaktu itu bilang ada om dan tantenya di apartemen. Tentu saja aku tidak masalah. Mana kutahu tantenya pergi ke kamar dan tidak kembali keluar sampai aku berpamitan pulang. Mana kutahu ternyata omnya ada urusan kerjaan dadakan di KBRI.

Fatih terus memotong saat aku berusaha menjelaskan. Bahkan dia menyakitiku. Ya, aku tahu ini risiko karena aku telah berani mengoreksi perbuatan orang lain. Sehingga saat aku terpeleset di jurang yang sama, aku langsung dituding.

Melati: Assalamualaikum. Tih, Jumat depan rencana kita mau syuting wawancara Farouk dan keluarganya di Abdou Pasha, Abbassia. Kamu bisa kan?

Hingga aku dan Ruqa sampai di Distrik Tujuh, tidak ada jawaban dari Fatih. Selama di metro, aku selalu memeriksa jawaban dari Fatih. Sesampaiku di apartemen, aku mencoba meneleponnya. Namun Fatih tidak mengangkatnya.

***

Sudah hari Rabu, Fatih tidak kunjung membalas maupun memgangkat telepon dariku. Bagaimana ini?

"Ruqa, boleh aku meminjam ponselmu untuk menghubungi seseorang?" tanyaku.

Kini kami sedang berjalan keluar gerbang kampus bersama Rana. Aku baru saja menceritakan soal makanan Cina di dekat Madinat El-Bo'oth. Rana tertarik dan ingin mencicipinya. Tumben sekali kan dia ingin diajak jalan-jalan, jadi sepulang kuliah kami bertiga pergi ke sana. Kami akan menaiki bus nomor 24ج yang menuju Darasah dan turun di halte Madinat El-Bo'oth. Kami akan menunggu di halte seberang Masjid Nor Khitab. Padahal kami bertahun-tahun bersekolah di Ma'had Al-Azhar, tapi Rana belum pernah ke restoran Cina yang sangat dekat itu.

"Buat apa? Ponselmu rusak? Setahuku tadi kamu memainkannya," tanya Ruqa balik.

"Orang yang ingin kuhubungi tidak menjawabnya. Aku butuh untuk syuting Jumat nanti."

"Fatih? Jadi dia pergi Jumat sebelumnya karena kalian bertengkar? Kamu belum jawab pertanyaanku waktu itu. Apa yang kalian bicarakan?"

"Ah, aku pinjam ponselmu saja, Rana."

Rana menggelengkan kepala sembari mengayunkan jari telunjuknya. "Mama selalu memeriksa ponselku. Aku tidak boleh menelepon atau menerima pesan dari pria."

Lihat selengkapnya