"Kak, bisa keluar sebentar nggak?" tanya Aila saat meneleponku. Aku baru saja terbangun karena setelah pulang kuliah aku tertidur. Jadwal di hari Rabu cukup banyak, makanya aku kelelahan. Padahal tadinya aku berniat belajar lagi di kamar. Mungkin karena sudah beberapa kali hari liburku dipakai untuk syuting sehingga aku tidak punya waktu untuk istirahat, dan aku harus tetap menyicil untuk membaca ulang diktat usai pulang kuliah di hari-hari biasa. Dan … hari ini aku tumbang.
"Kamu ada di depan gerbang?"
"Aku di restoran piza kesukaan Kakak. Itu lho yang di depan Taman Asyir Ramadan."
"Itu bukan keluar sebentar namanya, Ai. Bentar aku salat dulu. Aku belum salat asar karena abis dari kampus ketiduran."
Setelah salat asar, aku hanya memoles sunscreen pada wajahku karena matahari menuju terbenam terkadang masih menyengat. Apalagi sekarang sudah bukan di puncak musim dingin. Meskipun begitu aku tetap memakai jaket tipis yang melapisi gamis merah muda yang kupakai. Biasanya kalau sudah mengobrol dengan Aila pasti lama. Aku memutuskan untuk memakai jilbab instan yang tergantung di belakang pintu. Paling Aila ditemani Rifqi dan anak mereka di sana.
Jarak apartemenku dengan Taman Asyir Ramadan kira-kira lima belas menit berjalan kaki. Taman Asyir Ramadan berada di seberang Masjid Nor Khitab, dan di samping masjid adalah kuliyah banat. Makanya setiap hari aku dan Ruqa berjalan kaki ke kampus.
Aku melihat Aila melambaikan tangan di teras restoran serba berwarna merah itu. Saat ke restoran ini kami memang terbiasa mengambil duduk di teras. Namun aku melihat ada dua pria duduk di atas kursi plastik berwarna merah itu. Firasatku tidak enak. Saat dia menoleh, tuh kan Fatih! Dia malah tersenyum lagi kepadaku. Bikin salah tingkah aja.
Tahu begitu aku menyempatkan diri memakai pashmina dan bedak. Ya ampun, taubat, Mel! Berdandan dengan niat supaya dilirik yang bukan mahram, ckck.
"Dalam rangka apa nih ke sini?" tanyaku sambil menarik kursi di sebelah Aila.
"Ada yang minta ditemenin—aduh! Ngapain sih nginjek-nginjek!" protes Rifqi kepada Fatih yang duduk di sebelahnya. Mereka berdua duduk di seberangku.
"Fatih pengin ngasih oleh-oleh sekalian minta maaf," ujar Aila. "Eh, jangan injek kaki aku ya! Abi, marahin dia." Aila menunjuk Fatih.
Aku dan Fatih segera berlagak muntah saat mendengar kata, "Abi," dari mulut Aila.
"Orang kayak gini dipanggil Abi?" Fatih mencibir sambil melirik Rifqi.
"Ya terus anakku manggil aku apa? Om? Eyang?" balas Rifqi.
Aku dan Aila tertawa. Rasanya kangen dengan suasana ini. Nisywah yang berada di pangkuan Aila juga ikut tertawa.
Kemudian Fatih menaruh tas kertas di samping loyang berisi piza sharqi tuna—favoritku—di atas meja.
"Buat siapa?" tanyaku.
"Kalau nggak mau diambil, buatku ajalah. Ya, buat Kak Mel lah!" Aila memukul bahuku.
"Oh, makasih ya." Aku tersenyum.
"Oleh-oleh buat Kak Mel kayaknya lebih banyak ya. Padahal aku kurang imut apa supaya Om ngasih aku banyak oleh-oleh." Aila mengayunkan kedua tangan mungil Nisywah ke kedua pipi tembamnya.
"Dasar ibu matre. Sini balikin oleh-olehnya." Fatih melirik sinis.
"Om jahat!" Aila masih melanjutkan dramanya.
Aku melihat Rifqi menyenggol lengan Fatih. Aila juga berlagak batuk dan berdeham kencang. Apaan sih mereka? Aku memutuskan untuk berdiri dan beralasan untuk menambah pesanan piza karena piza yang ada di atas meja sudah hampir habis.
Saat aku kembali dari dalam restoran, Fatih menatapku. Aku segera menunduk dan cepat-cepat duduk.
"Aku mau minta maaf, Mel, soal perkataanku di Masjid Ibnu Tulun waktu itu." Akhirnya Fatih membuka mulutnya.
Berhubung ada Aila dan Rifqi, aku segera menceritakan tentang kejadian sewaktu aku ke apartemen Kenzie.