Sudah dari pekan kemarin aku mengabaikan pesan dari Bunda. Hingga tiba-tiba hari ini ada pesan masuk dari nomor tidak dikenal.
+20-304-123-4056: Kak, ini Bunda. Bunda udah sampe Kairo dari kemarin malam, tapi baru ngabarin karena baru beli nomer. Kakak lagi ada kegiatan nggak? Nanti sore buka puasa di Ramses Hilton ya. Boleh ajak teman-temannya juga.
Apa? Ramses Hilton? Harusnya aku tidak terkejut karena aku mendapatkan info dari Neira dan Dion—adik laki-laki setelahku—bahwa Bunda menikah dengan seorang konglomerat. Bahkan Neira menambahkan, masih jauh gantengan Ayah sih, Kak. Dari foto yang diunggah Neira, suami baru Bunda berkepala botak dan perut buncit.
Meskipun selama Ramadan aku tidak ada jadwal syuting untuk project film, seharusnya aku bisa mengunjungi Bunda setelah acara seminar. Namun aku tetap menolak untuk bertemu dengannya. Kini aku sedang berjaga di meja registrasi. Fatih bersama Kak Rayyan sedang menjemput narasumber kami dari Al-Azhar. Kenzie sedang memasang kamera sambil memeriksa semua perlengkapan acara bersama anggota sekretariat Kekeluargaan Jawa Barat. Seminar Ilmu Falak yang diselenggarakan hari ini bekerjasama dengan PPMI, yaitu acara lanjutan dari acara rukyatul hilal. Hanya dua kali saja, di Jumat awal Ramadan, dan Jumat berikutnya.
Film Jejak Semesta Kairo tinggal meliput event menonton meteor shower dan astro trip ke White Dessert di bulan Agustus nanti. Lalu film voice the oppressed tersisa syuting teman Rana dari Sudan yang akan kami lakukan setelah ujian termin dua. Sekarang kami fokus mengedit video hasil syuting selama beberapa bulan kemarin.
Lagi pula siapa yang kuat syuting di tengah udara musim panas sembari puasa? Apalagi kuliah tetap berjalan dan mungkin akan libur sekitar seminggu sebelum Idul Fitri. Makanya aku, Kenzie, dan Ruqa sepakat untuk membagi tugas untuk mengedit video sembari menyicil belajar untuk ujian termin dua setelah Idul Fitri nanti.
"Mel! Mel!"
Aku menengok ke arah Kenzie.
"Kamu serius banget sama HP. Aku panggilin dari tadi."
Aku menggaruk kepalaku yang dibalut pashmina merah muda. "Sori, aku lagi nggak mood aja."
"Nggak mood kenapa?"
"Ada deh.” Mana mungkin aku menceritakan soal Bunda kepada Kenzie. Hanya teman-teman Jejak Papyruz dan Ruqa yang tahu masalah keluargaku.
“Kamu nanti ada acara buka puasa di luar nggak?”
Aku menggeleng.
“Ikut aku yuk. Ada promo buka puasa di Ramses Hilton. Makannya buffet dan ada acara Arabian Night. Seru kayaknya.” Kenzie memperlihatkan layar ponselnya yang terpampang foto promosi dari Ramses Hilton.
Kenapa Kenzie sama kayak Bunda sih? Sama-sama Ramses Hilton. Tentu saja aku segera menggeleng. “Aku lagi mau hemat, Ken. Walaupun promosi, tetap aja mahal.”
Kenzie tertawa. “Tenang, aku traktir. Bareng-bareng sama yang lain. Jadinya abis seminar, kita langsung jalan ke sana biar nggak kena macet.”
“Kalian aja deh. Aku skip dulu. Mau nyicil belajar juga biar dapat nilai akhir yang bagus. Biar keterima beasiswa.” Aku tersenyum dan beralasan ingin ke toilet.
***
Besoknya setelah asar, Kenzie meneleponku. Aku mengira dia ingin bertanya soal editing video.
"Mel, aku ada di bawah."
"Kamu ngapain ke sini?"
"Aku mau ngajak kamu buka puasa di luar. Ada yang mau diomongin. Penting. Sebenarnya kemarin aku ngajak buka puasa bareng karena ada hal penting berkaitan project yang mau aku omongin, tapi karena kamu nggak mau ikut, jadi ya batal. Makanya sekarang mau ngajak kamu ke Restoran Niel dekat sini."
“Ya udah, tapi aku siap-siap dulu. Nggak apa-apa nunggu?”
“It’s okay. Take your time, partner.”
Aku jadi merasa bersalah kemarin menolak ajakan Kenzie gara-gara takut bertemu Bunda di Ramses Hilton. Restoran Niel berada di Distrik Tujuh juga jadi tidak mungkin Bunda akan ke daerah sini. Bunda juga tidak akan tahu alamat apartemenku karena keluargaku tidak ada yang tahu alamatku di Kairo. Tadinya aku ingin memakai pashmina atau jilbab segiempat karena pasti di sana ada … Fatih. Ah, Mel! Kasihan Kenzie sudah menunggu! Pasti Fatih dan Kak Rayyan di sana juga menunggu. Tapi kenapa Ruqa tidak menghubungiku ya? Biasanya jika bepergian untuk keperluan project, dia selalu mendatangiku atau meneleponku. Di grup project kami juga sepi dari pemberitahuan. Apa mungkin Kenzie menghubungi satu-persatu? Mungkin juga Ruqa tidak terlibat karena beberapa hari kemarin dia absen—ternyata orangtuanya dari Kanada datang.
Usai aku memakai jilbab bergo dan meraih tas selempang kecil, aku segera keluar apartemen dan berpamitan dengan teman-teman yang sedang berkumpul di ruang tengah. Saat aku mendekati mobil yang terparkir di depan gedung apartemen, Kenzie segera menurunkan jendela. Aku membuka pintu mobil dan dengan ragu duduk di samping kemudi.
“Kok cuma kamu sendiri? Yang lain mana?” tanyaku sembari menoleh ke kursi belakang.
“Ayo, kita berangkat. Takut yang lain kelamaan nunggu.” Kenzie segera melajukan mobil.
Oh, jadi yang lain sudah datang terlebih dahulu di sana? Buat apa Kenzie repot-repot menjemputku. Aku jadi tidak enak kalau Fatih melihatnya nanti. Ah, tapi nasi sudah menjadi bubur.
Sepertinya restoran sedang ramai. Terlihat dari pintu kaca depan, di dalamnya telah banyak orang yang memenuhi restoran. Di awal Bulan Ramadan memang banyak masisir yang mengadakan buka puasa bersama. Namun yang datang ke sini bukan hanya mahasiswa Indonesia, banyak juga mahasiswa Malaysia dan Thailand. Terkadang orang Mesir juga menjadi pengunjung tetap restoran ini. Menurutku restoran ini adalah restoran Thailand yang paling enak di Nasr City.
Kenzie berjalan mendahuluiku ke dalam. Di restoran ini tersedia ruangan tertutup bagi yang memakai cadar atau yang ingin ruangan khusus keluarga. Letaknya di bagian dalam sebelum dapur restoran. Restoran ini berada di bagian bawah salah satu gedung apartemen di Distrik Tujuh.
Kedua mataku mencari-cari keberadaan Fatih dan Kak Rayyan, tapi … hah? Kenapa ada Bunda?! Jantungku mencelus saat melihat wanita memakai abaya dan pashmina merah muda berdiri dari kursi yang didudukinya di meja sebelah kiri menghampiriku. Pria botak yang duduk di sebelahnya turut berdiri dan tersenyum kepadaku. Bulu kudukku sontak berdiri.
Aku segera menoleh ke arah Kenzie. “Kita cari tempat lain aja, Ken. Ayo! Plis!”
Namun Kenzie malah bergeming dan aku semakin terkejut saat Bunda memanggil Kenzie.
“Bunda kenal Kenzie?” tanyaku kepada Bunda yang kini berdiri di sampingku.
“Kak, kita ngobrolnya sambil duduk ya. Nggak enak dilihatin orang.”
“Kalau nggak mau dilihatin orang, lebih baik Bunda jangan temuin Kakak,” tegasku.
Saat aku berbalik ingin pergi, Bunda menarik tanganku. “Kak, plis. Sekali aja.”
Aku mengedarkan pandangan dan melihat beberapa pasang melihat kami. Ada masisir juga. Aku tidak ingin ada gosip tentang diriku yang menampik uluran tangan seorang ibu. Apalagi aku ingin mendaftar beasiswa. Bisa kacau. Aku mengembuskan napas dan pasrah mengikuti Bunda.