Jejak Semesta Kairo

Mare Jun
Chapter #30

Tiga Puluh

"Kamu lagi ngapain?" tanya Kenzie.

"Ngapain lagi kalau bukan baca blog kontroversialnya Dark Cairo. Udah namanya aneh, main fitnah juga."

"Aku udah tahu pelakunya.”

"Siapa?!”

"Aduh! Nggak pake teriak juga kali, Mel. Aku butuh kita rapat, terutama aku, kamu, dan Fatih, karena kita bertiga terlibat. Ini bisa merugikan kesempatan beasiswa kamu, popularitas YouTube-ku, dan posisi Fatih sebagai Presiden PPMI yang mau serah terima jabatan abis ujian termin dua. Aku sekalian mau kasih lihat hasil editan video sama rencana kita selanjutnya. Ajak Ruqa aja. Aku nelepon dan ngirim pesan ke Fatih nggak ada balasan, tapi aku coba lagi deh."

"Oke. Kita ketemuan di Restoran Niel aja ya abis asar. Kamu berangkat dari Dokki?”

“Aku kebetulan lagi di Distrik Sepuluh. Oke, aku on the way ya.”

Usai aku menutup panggilan dari Kenzie, aku segera menelepon Ruqa dan setelah itu bergegas untuk mandi dan berwudu. Usai menunaikan salat asar, aku melihat Ruqa sudah berdiri di depan pintu kamarku. Dia menyodorkanku sebuah lukisan.

"Wah, ini kamu yang buat?" Aku mengambil kanvas yang di atasnya tergambar lukisan Baitul Maqdis.

Ruqa mengangguk. "Maaf dari sebelum Ramadan aku tidak banyak membantumu dalam mengedit video. Aku banyak undangan untuk bedah buku tentang Palestina di zoom dan live Instagram. Dan kamu tahu? Di hari Sabtu nanti aku akan ada jadwal live dengan penulis favoritmu."

"Siapa? Jangan bilang kalau dia Farah Atef!"

Ruqa tersenyum lebar sembari mengangguk.

"Aku akan ke apartemenmu! Aku nggak menyangka temanku akan live bersama Farah Atef!"

Farah Atef itu penulis muslim yang tinggal di Amerika. Aku sangat mengagumi semua tulisannya. Aku paling suka karakter muslimah di salah satu novelnya yang berani mengatakan standar ganda feminis orang-orang kulit putih, terutama kritikan soal jilbab. Nama karakternya adalah Jeehan, dia berani mengatakan hal itu di depan teman-teman di sekolahnya yang notabene adalah orang-orang kulit putih.

"Ayo, kita segera berangkat. Aku sudah lama ingin menyicipi masakan Thailand. Terakhir aku makan makanan Thailand saat haflah[1] di Kelas Tiga sewaktu di Ma'had."

Ah, aku jadi kangen. Dulu sebelum kami lulus, teman-teman sekelas mengadakan pesta dengan berbagi makanan khas negara masing-masing. Aku masih ingat ketika itu aku membawa pisang goreng dan semua orang memujiku. Padahal kalau mereka tahu, pisang goreng satu-satunya gorengan yang paling mudah dibuat.

***

Kami tiba di Restoran Niel lima belas menit kemudian. Kenzie mengabarkan bahwa dia masih di jalan. Sembari menunggu Kenzie, kami memesan makanan terlebih dahulu.

"Kamu merekomendasikan apa?" tanya Ruqa.

"Ada ikan tiga rasa, ikan goreng disiram kuah yang rasanya pedas campur manis dan masam. Tom yum kurang lebih rasa kuahnya mirip, hanya saja aroma rempah-rempahnya lebih kuat. Ada juga nasi goreng pattaya, nasi goreng yang dibungkus dengan telur dadar." Aku sudah seperti asisten pelayan.

Akhirnya kami memesan tom yum seafood, ikan tiga rasa, dan nasi goreng pattaya. Sekaligus aku memesankan pesanan Kenzie, yaitu nasi goreng mutiara.

Kenzie datang bertepatan dengan pesanan datang. Dia segera mengeluarkan laptop dari ranselnya.

"Makan dulu. Nanti keburu dingin." Aku mendorong piring nasi goreng mutiara ke arahnya yang duduk di depanku.

"Sambil kamu lihat hasil editannya. Kamu bawa hardisk, kan? Nanti tolong tambahin subtitle ya. Font-nya diseragamin dan cari yang bagus."

Wah, hasilnya bagus sekali. Pembukaan untuk film dokumenter voice of the oppressed diawali dengan pemandangan pemukiman padat Kota Kairo. Dari gang kecil yang menampakkan jemuran bergelayutan, hiasan fanous berupa lampion atau lentera yang digantung saat Ramadan, beserta lampu-lampu kecil yang menghiasi balkon-balkon apartemen. Tak lupa suara azan yang menggema dari menara-menara masjid.

"Ini di mana? Kayaknya bukan di Nasr City." Aku menunjuk layar laptopnya.

Lihat selengkapnya