Jejak Semesta Kairo

Mare Jun
Chapter #31

Tiga Puluh Satu

Dua bulan kemudian.

Seharusnya aku merasa senang dengan agenda menonton Perseids Meteor Shower di Wadi Rayyan, Fayoum. Namun baru saja pekan kemarin aku melihat hasil ujian. Aku mendapatkan jayyid jiddan ma’a martabatis syaraf[1]. Harusnya itu hasil yang memuaskan, tapi targetku mendapatkan mumtaz[2]! Apalagi Ruqa dan Rana mendapatkan mumtaz. Rasanya sedih. Padahal mata kuliah di tingkat empat jauh lebih mudah dari tingkat tiga, makanya banyak mahasiswi yang naik nilainya. Namun aku sadar bahwa aku terlalu banyak distraksi seperti mengurus project film, dan masalah dengan Ayah dan Bunda.

Selama perjalanan aku hanya termenung saja. Padahal masisir lainnya heboh mengobrol satu sama lainnya. Aku duduk di bangku untuk satu orang di sebelah kanan minibus dekat pintu masuk. Ruqa tidak bisa ikut karena dia ada acara lamaran. Tadinya dia ingin mengundangku, tapi dia tahu bahwa aku harus merampungkan project film sebelum deadline pendaftaran beasiswa di awal November.

Minibus berangkat dari Distrik Sepuluh bersama para masisir yang mengikuti seminar Kajian Ilmu Falak selama Ramadan. Aku merasa canggung karena kebanyakan peserta dari mahasiswa tingkat satu dan dua. Fatih tetap bersedia mengurus acara ini meskipun dia sudah turun dari jabatan PPMI. Apalagi dia baru saja pulang dari haji, jatah tenaga musiman berkat jabatannya sebagai Presiden PPMI. Selesai ujian termin dua, Fatih langsung berangkat haji. Namun saat aku menghubunginya kemarin lusa, dia tetap menyanggupi untuk memandu acara ini. Berhubung Ketua PPMI yang baru belum dilantik, jadi Fatih mengajak Ridwan untuk membantunya. Lagi pula acara astro trip ini berupa jalan-jalan yang bisa dijadikan ajang hiburan pasca ujian.

Kenzie memutuskan untuk ikut minibus yang berangkat dari Masjid Mostafa Mahmoud bersama anggota ASMM lainnya karena lebih dekat dari apartemennya. Fatih sibuk memandu perjalanan. Aku benar-benar sebatang kara. Apalagi katanya kami akan sampai setelah dua setengah jam lebih.

Setelah Fatih mengabsen peserta, dia duduk di tangga depan pintu masuk minibus, persis di depanku. Kami terhalang pegangan tangga. Kedua bibirnya seperti mengucapkan sesuatu. Aku segera melepas headset bluetooth dari dalam jilbab segiempat yang kupakai.

"Baca apa?" tanyanya.

"Oh, ini? Novelnya Farah Atef yang terbaru." Aku memperlihatkan novel bersampul biru laut yang berada di pangkuanku.

"Boleh pinjam?"

Awalnya aku ragu karena aku yakin sekali ada beberapa pasang mata yang melihat kami. Namun akhirnya aku menyodorkan novelku kepada Fatih. Meskipun Kenzie sudah melakukan klarifikasi, tapi tetap saja masih ada desas-desus soal diriku dengan Fatih dan Kenzie. Namun sepertinya Fatih tidak peduli. Syukurlah. Lagi pula kami ini mahasiswa Al-Azhar. Jangan sampai kami berpikiran dangkal dengan memedulikan gosip murahan. Apalagi interaksiku dengan Fatih masih memperhatikan batasan dengan lawan jenis.

"Kamu bawa-bawa novel emangnya nggak berat? Nanti kita bakal naik bukit lho."

Aku menyengir lebar. "Iya ya? Aku baru ingat."

Lalu aku bersyukur karena Kak Rayyan yang duduk di seberang kiriku mengajak kami berbicara sehingga tatapan-tatapan yang membuatku risi memudar seiring perjalanan.

***

Sesampai kami di Wadi Rayyan, Fatih menawarkan untuk membawa ranselku.

"Sini ransel kamu," ujarnya.

Aku yang sedang memotret danau biru jernih yang menghampar di samping bukit sampai terkejut mendengarnya.

Di saat aku ingin menolak, Fatih menarik ranselku. Sebelum ada masisir yang melihat ke arah kami, aku melepas ranselku. Meskipun orang-orang pasti tahu itu bukan ransel milik Fatih karena berwarna pink muda.

"Yo, wassap, bro!" teriak Kenzie yang sehabis turun dari minibus yang baru saja datang.

Aku menggelengkan kepala melihat tingkah tengilnya. Dia berjalan bersama Mostafa dan Sara. Kenzie terlihat seperti anak mereka berdua. Jangan tertawa, Mel, kamu yang lebih pendek dari Kenzie akan terlihat seperti anak mereka juga!

Setelah menyapa Mostafa dan Sara, Fatih berpamitan untuk memandu masisir lainnya supaya menaiki bukit. Padahal peserta lainnya masih sibuk berfoto ria dengan latar danau. Belum lagi sinar matahari keemasan yang terik dimanfaatkan untuk menjadi cahaya alami sebelum nanti akan terbenam.

Kami berempat berjalan menuju bukit bersama-sama sambil mengobrol. Di tengah jalan, Kenzie berhenti untuk menyorot pemandangan sekitar dengan drone miliknya.

Padahal bukitnya tidak terlalu tinggi. Jauh sekali dari Gunung Sinai yang pernah kutanjak. Namun Gunung Sinai setiap jalannya sudah didesain menjadi tangga, jadi aku tidak takut. Sedangkan bukit ini sama sekali tidak ada! Mana jalanannya licin akibat pasir. Selain danau, semua yang ada di sini adalah gurun pasir.

Walhasil aku berjongkok karena tadi hampir terpeleset. Aku melihat Fatih yang terlihat tetap tegar. Padahal aku ingat bahwa dia itu takut ketinggian. Oh, aku tahu trik yang dipakai oleh Fatih. Pantas saja dia tadi mengenakan kacamata hitam. Aku kira dia ingin bergaya, dan tumben sekali dia bergaya seperti itu. Ternyata supaya tetap tegar di mata masisir karena dia masih membawa nama sebagai mantan Presiden PPMI.

Lihat selengkapnya