Ayah dan Dion menginap di wisma milik Kekeluargaan Jakarta (Betawi Guest House). Usai dari restoran Cina, kami bertiga makan camilan bersama di ruang tamu. Meskipun tidak semewah hotel bintang lima, tapi wisma milik kekeluargaan menurutku lumayan nyaman. Untuk ukuran mahasiswa, ini sih sudah lumayan mewah. Tersedia ruang tamu dengan smart TV, ruang makan, dapur, dan fasilitas laundry. Ternyata aku baru tahu bahwa Ayah memesan wisma lewat bantuan Rifqi. Bisa-bisanya Rifqi merahasiakan rencana kedatangan Ayah.
“Kak, Ayah mau minta maaf karena udah memaksa Kakak supaya meneruskan yayasan keluarga kita. Tapi kalau boleh jujur, sebenarnya Ayah itu nggak mau Kakak lanjut S2 di Kairo karena Ayah kangen sama Kakak. Sudah cukup Kakak merantau jauh. Apalagi rumah sepi, Ayah merasa kesepian. Tapi kalau keputusan Kakak sudah bulat, nggak apa-apa, Ayah nggak akan memaksa. Apalagi Ayah sempat dengar dari Neira kalau Bunda berusaha mencarikan Kakak jodoh dan membuat Kakak nggak nyaman.”
“Kenapa Ayah nggak jujur kalau itu alasannya?”
“Kak, sebenarnya Ayah memang mau Kakak yang jadi penerus yayasan kita. Tapi alasan Ayah kangen sama Kakak itu juga benar. Kakak tahu sendiri kalau ayah kita ini gengsinya selangit,” sindir Dion.
Ayah berdeham keras.
“Terus waktu gue dengar cerita Bunda yang bikin skenario aneh-aneh dengan mencarikan jodoh dari informan andal kita, Neira, gue merasa kasihan sama elo, Kak,” lanjut Dion.
Aku tertawa. Seketika ingatan masa kecil saat Dion mengomel karena Neira hobi bergosip melintas di kepalaku.
“Gue sebagai laki-laki merasa bertanggung jawab melindungi Kakak. Meskipun gue adek, tapi Kakak itu udah banyak berkorban buat gue. Dari ngurusin gue yang dulu kabur dari rumah gara-gara dengar Ayah dan Bunda mau cerai sampai bantuin gue yang bangkit dari keterpurukan dan lanjut sekolah. Terus gue juga baru dapat kabar kalau gue diterima universitas impian. Gue banyak utang budi ke elo, Kak.”
Aku terharu mendengar Dion yang sekarang sudah sedewasa ini. Saat aku pulang dua tahun yang lalu, aku hanya sempat bertemu dengannya sebentar karena dia berada di asrama. Berbeda dengan Neira yang masuk asrama, tapi banyak izin saat aku pulang ke Jakarta.
“Tiba-tiba aja seminggu yang lalu Dion datang ke rumah dan bilang kalau dia bersedia jadi penerus yayasan keluarga kita dan minta Ayah supaya jangan menekan Kakak lagi. Dion juga menyuruh Ayah berbaikan dengan Kakak. Mungkin Bunda juga sebentar lagi menelepon Kakak, karena Dion juga menceramahi Bunda panjang lebar. Kalau Kakak diterima beasiswa Alhamdulillah, kalau nggak, Ayah bersedia membiayai Kakak.”
Aku segera memeluk Ayah. “Yah, maafin Kakak juga yang egois. Maaf kalau Kakak sering bentak Ayah.”
“Udah Ayah maafin, Kak.”
Aku melepas pelukan Ayah dan menoleh ke arah Dion.
“Jangan berpikir Anda bisa memeluk saya! Plis, Kak, gue jijik!”
Lalu Dion berlari ke kamar karena aku mengejarnya.