Ini adalah weekend pertama Senja di kota ini. Setelah 10 tahun menikmati landscape pemandangan tepian Mahakam dalam imajinasinya, sore ini ia memutuskan untuk bertatapan langsung dengan wajah mentari yang mulai bersembunyi. Ini adalah kali pertama ia keluar rumah dan sendirian. Sebab, sejak tiba di kota Samarinda Senin pagi, gadis penyuka warna biru ini tak pernah keluar rumah sekalipun hanya di pekarangan rumah saja. Kecuali, jika Ibu yang meminta untuk ditemani ke pasar.
Kalau saja bukan karena pesan mendiang Nenek, gadis yang memiliki kenangan manis sekaligus pahit di masa-lalunya dengan kota ini, lebih memilih untuk tetap tinggal di kota Jakarta. Meski ia benci dengan segala kebisingan terlebih kemacetan kota metropolitan itu, namun tetap saja kota yang terkenal dengan icon monasnya sudah menjadi obat mujarab baginya untuk bangkit dari kenyataan yang sampai saat ini masih sulit untuk diterimanya sebagai alur dalam cerita kehidupannya.
Terlalu sering ia berandai-andai, jika saja otak manusia yang menyimpan ribuan bahkan jutaan file ini seperti flashdisk. Mana bagian yang tidak diinginkan bisa di-delete. Setelah jauh mengarungi lautan khayalan, ia tersadarkan akan sesuatu. Tuhan adalah SangPenulis Skenario Terbaik. Ending yang dituliskan-Nya untuk jiwa yang penyabar selalu bahagia. Dia adalah Sang Penjanji Yang Tak Pernah Ingkar. Pun ia menyadari, bahwa dirinya tidak memiliki privilese menghapus ingatan yang berkaitan dengan segala kejadian buruk.
Senja mengenakan gaun tiga perempat bermotif bunga dan lilitan syal biru dilehernya. Style vintagenya sore ini semakin diperkuat dengan motor skuter berdesain ala vespa, yang dikendarainya. Ia membawa laju motornya menyusuri jalan komplek perumahan Bumi Permai hingga berujung di jalan Juanda. Sesekali ia menyelip kendaraan lain. Hatinya sudah tak sabar menahan rasa rindu pada seluruh kenangan yang pernah tercatat di tempat favoritnya itu. Jikapun harus menitikkan air mata, ia sudah menyiapkan saputangan biru-hadiah terakhir dari Nenek menjelang detik-detik beliau menutup usia untuk selama-lamanya.
Tanpa ragu-ragu, ia membelokkan motornya ke kanan, ke kiri, ke kanan lagi atau ke kiri. Seolah ia hafal setiap sisi jalan kota yang sudah 10 tahun ditinggalkannya ini. Tak banyak yang berubah dari kota ini. Ia ingat betul hari itu. 10 tahun silam. 5 Mei 2000. Tepat di hari keberangkatannya ke Jakarta. Dalam perjalanan menuju Bandara, sebelum jauh meninggalkan kota ini, ia meminta kepada Pak Tono, sopir travel, untuk singgah sebentar ke Tepian Mahakam.
“Pak, kita singgah sebentar ke Tepian Mahakam!” pintanya dengan lembut. Setelah membalas dengan anggukan dan senyuman, lelaki berusia 46 tahun ini langsung memutar balik arah laju mobil menuju tempat yang dimaksud.
“Mau beli kacang gorengkah?” tanya Pak Tono.
“Tidak, Pak. Aku mau pamit,”
“Dengan teman lelakinya, kah? Kayak yang di film drama korea itu,”
“Tidak, Pak. Tidak dengan seseorang,”