Senja memutuskan untuk menerima permintaan Ibu, lebih tepatnya permintaan almarhumah Nenek, untuk kembali menetap di kota yang seharusnya sudah menjadi puing-puing kenangan. Namun, ia menyaratkan agar diizinkan untuk melanjutkan pendidikannya ke sekolah musik. Ia ingin berhenti menjalani status sebagai siswi di sekolah formal: siswi yang tidak memiliki satu pun teman, apalagi yang spesial, siswi yang tidak populer di kalangan guru baik itu karena kepintaran ataupun kepandaian dalam bersikap. Satu-satunya guru yang dekat dengannya dan paling memahaminya ialah Bu Faras. Ia jenuh dengan segala rutinitas kehidupan seorang siswi. Ia merasa tidak cocok dan tidak nyaman berada di lingkungan yang monoton. Pergi pagi-pulang sore, bertemu dengan banyak ‘monster’, menghadapi makhluk asing yang tak sejalan dengannya. Itu berulang setiap hari. Kecuali, hari Minggu. Sebab, pengecualian itulah ia menyukai hari Minggu.
Dulu, waktu masih di Jakarta, sudah seminggu Ibu membujuk Senja untuk menyetujui perpindahan ke Samarinda (lagi). Namun, putrinya yang keras hati itu tetap tidak berubah pikiran.
“Meskipun di sekolah aku tidak memiliki teman, tapi aku bahagia di sini,” kalimat itu yang selalu terdengar dari mulutnya sebagai sebuah jawaban.
“Sayang, Ibu tahu kamu masih belum bisa menerima peristiwa yang memilukan itu sebagai masa lalu. Andai saja perasaan sedih dan kecewa Ibu bisa dikalkulasikan, pasti layar kalkulator tak cukup menampilkan hasilnya. Tapi, kamu datang dan hadir dalam kehidupan Ibu sebagai angka 0 yang tak pernah memberikan 1 pun nilai kekecewaan, yang kemudian jadi pengali sehingga hilanglah semua kesedihan dan kekecewaan itu,” Ibu memeluk dan membelai rambut ikal putrinya yang tergerai dan dihiasi bandana biru, “Lagipula, Ibu khawatir, jika terus-menerus menetap di Jakarta ini. Takut nanti jika kamu putus sekolah karena biaya. Ibu hanya seorang karyawan swasta di sebuah pabrik sabun. Kerabat juga tidak punya di sini. Kalau kembali ke kampung, Ibu bisa melanjutkan dan mengembangkan warung soto milik Nenek, seperti pesan almarhumah,’
Senja menekur. Ia sadar, betapa egois dirinya. Ia hanya memikirkan dirinya yang tidak ingin lagi menjadi bahan ejekan teman-teman sekolah karena kehadiran ‘ibu tiri’ dalam hidupnya. Seperti di masa taman kanak-kanak dulu. Semua akibat perselingkuhan ayahnya dengan perempuan lain.
Senin, 24 Mei 2010
Suasana hati: Penuh keraguan
Hari ini adalah hari pertamaku menjalani status ‘siswi pindahan’. Entah apa lanjutan ceritaku dan bagaimana endingnya hari ini. Semoga baik-baik saja.
Senja memasukkan buku biru kesayangannya ke dalam ransel. Jantungnya semakin berdegup kencang.
“Ayolah Senja. Rileks. Everything’s gonna be okay,” gumamnya ketika menyalakan skuter.
Jantungnya mulai normal, setelah 500 m melaju. Angin pagi yang membelainya lembut berhasil menghilangkan trauma masa lalunya walau sesaat.
Ia menghentikan skuternya di depan gerbang sekolah.
“Titit.. Titit...” sebuah mobil honda jazz merah mengklaksonnya. Kaca mobil dibuka.