Awan hitam berlayar rendah di langit. Mengerikan. Mengerikan lantaran jenis awan itu adalah awan comulunimbus –awan hitam pekat yang berbentuk cendawan raksasa. Awan comulunimbus adalah pemantik badai, dan badai di atas gunung bisa diartikan ancaman kematian bagi pendaki gunung. Tak nampak intipan mentari. Belantara rimba terselip di kepekatan.
Aku teramat khawatir. Pikiranku tak fokus. Setelah tadi malam terpapar dingin dan angin kencang, satu persatu fisik kami bertumbangan. Semua peralatan pendakian yang kami bawa tak banyak membantu. Suhu minus 7 derajat menyiksa pelan-pelan. Angin di luar tenda terasa menampar-nampar permukaan tenda. Berisik. Sangat-sangat berisik.
Amara tergeletak tak berdaya. Kesadarannya tinggal sisa-sisa. Wajahnya pucat. Bibirnya membiru. Matanya rapat terpejam. Ingin rasanya aku berbuat sesuatu, tetapi, apalah daya, aku tak mampu menolongnya. Jalan pulang yang seharusnya nampak, lenyap tak berbekas. Kami berlima terkucil di tengah rimba, terselip di antara julangan pepohonan berusia ratusan tahun. Tak terdengar secericit pun suara burung. Aneh. Sangat-sangat aneh.
“Kris, bagaimana dengan Amara?” tanyaku sembari memandang Krisna, pacar Amara. Namun Krisna membisu. Tatap matanya menerawang. Benny yang berada di samping Krisna memandangku.
“Begini, Ryan. Kita mengalami situasi yang pelik. Makanan menipis, kita tak pernah tahu kapan awan sialan ini menyingkir dari langit,” cerocos Benny. Sekilas terbaca kilat matanya yang licik.
“Apa maksud kata-katamu, Ben?” tanyaku cepat. Di hatiku terpantik curiga. Semoga tak ada niatan baginya meninggalkan Amara.
“Kita berempat harus secepatnya mencari jalan keluar. Usulku, kita bagi menjadi dua tim. Aku dan Krisna, sementara kau dan Soni,” jawabnya enteng.
“Kuharap niatanmu bukan berarti meninggalkan Amara.” Rupanya Soni sepemikiran denganku. Dia melirikku seraya minta dukungan.
Soni kemudian memandang Krisna dengan tatapan tak mengerti. Krisna mematung. Raut wajah Soni berubah jengkel.
“Ayolah, Kris. Jangan diam saja! Kau yang paling mengerti kondisi alam di antara kita! Kami butuh pendapatmu!!” bentak Soni. Tapi Krisna tak bereaksi.
“Kalau pendapatku masih tetap sama, Son. Kita harus secepatnya mencari jalan keluar. Kalau perlu meninggalkan Amara. Kukira Krisna sependapat denganku. Iya, kan, Kris?”
“Kau sudah sinting, Ben!!” teriakku
“Mending berkorban seorang daripada semua terkena imbas. Kita harus secepatnya mengambil keputusan. Mending mengambil keputusan salah daripada tidak sama sekali. Bertahan di tempat ini sama artinya menanti mati!”
Bantahan Benny terdengar memuakkan di telingaku. Ingin kuhajar mulutnya agar tak nyinyir semacam itu. Soni tak mampu berbuat banyak. Meski tak menerima kata-kata Benny, Soni tak memiliki solusi yang lebih baik. Kurasa dia menumpukan harapan kepada Krisna -pemimpin rombongan kami yang kini bersikap tolol.
Tidak seperti yang kubuktikan, konon Krisna memiliki segudang pengalaman bertahan hidup di alam bebas. Puluhan gunung didakinya. Repetisi pendakiannya setidaknya ratusan kali. Konon lagi menurut cerita yang membuatku kagum, Krisna sempat dinyatakan hilang selama beberapa hari ketika mendaki pegunungan Argopuro yang merupakan jalur pendakian terpanjang di pulau Jawa. Setelah upaya pencarian tim SAR dilakukan, Krisna ditemukan dalam keadaan tak kurang suatu apapun. Menurut cerita yang kudengar, Krisna menggunakan kemampuan survivalnya dengan baik. Dia berhasil melakukan orientasi medan dan mencari jalan pulang –meski harus menerobos hutan perawan sembari bertahan hidup dari dedaunan dan buah-buahan hutan. Tetapi –
Krisna yang kusaksikan kali ini amatlah jauh dari kisah heroik. Krisna yang kubuktikan lebih mirip lelaki tolol. Lelaki sinting yang hanya bisa menerawang saat Benny mengusulkannya meninggalkan Amara.
Andai aku yang di posisi Krisna, aku akan tetap menungguinya meski badai terburuk menerpaku. Amara memang manis. Gadis periang yang mencuri hati banyak lelaki termasuk diriku. Cantik. Ibarat bunga, Amara berasal dari jenis yang terliar. Jenis yang selama ini tersembunyi di tempat-tempat tertinggi. Amara sangat pas jika kumetaforakan secantik edelweiss. Liar. Eksotik. Mekar di tempat bunga lain tak mungkin tumbuh. Amara adalah segelintir pendaki perempuan yang gemar naik-turun memanjati titik-titik tertinggi di muka bumi. Saat pertama kali melihatnya di padang rumput Ranukumbolo, aku jatuh hati. Namun tidak seperti Krisna, aku tak memiliki keberanian mengungkapkan perasaanku. Amara akhirnya dipacari Krisna. Aku tinggal mengagumi dari jauh. Kurasa salah satu alasan Amara menerima Krisna lantaran mengagumi cerita-cerita hiperbolis tentang kehebatan lelaki tolol itu.
“Ambil kompas kalian.” Tiba-tiba suara serak Krisna menyentuh kesadaranku. Aku dan Soni berpandangan. Kami lantas meraih kompas masing-masing.
“Bidikkan ke pohon pinus itu, pohon yang tertinggi.” Suara Krisna terdengar gentar saat mengucap. Lagi-lagi aku dan Soni berpandangan tak mengerti.
“Bidik saja, Son. Dan baca hasilnya. Kau juga, Ryan.” Krisna menelan ludah. Bola matanya terlihat pasrah.
Aku dan Soni bersegera membidikkan kompasku ke pohon pinus yang dimaksud.
“Arah barat, angle 271,” ucapku sambil menilik jarum kompas.
“Arah timur, angle 91”, Soni terbelalak menyaksikan jarum kompasnya. Kedua alisnya tertaut.
“Salah satu dari kompas ini pasti ada yang rusak. Tak mungkin seperti ini.” Soni menggoyang kompasnya kiri kanan. Ia kebingungan.