Angin di luar tenda mereda. Dingin sangat mencekat meski hujan berjatuhan rintik-rintik. Soni yang berada di sampingku memandang nanar kepadaku. Kurasa dia di antara kami yang paling tenang menghadapi keadaan. Sesekali tatap matanya memandang muak ke arah Benny, tetapi Benny membuang muka. Kurasa mahkluk sialan itu merasa ditelanjangi. Ya. Tatap matanya tak lagi nyalang. Tatap matanya berubah luruh seperti tatap mata kelinci di hadapan serigala.
Mendengar deru angin yang mulai melemah, rasa optimisku perlahan bangkit. Kulihat Krisna, dia duduk memeluk kaki. Kurasa memburuknya kondisi Amara sangat-sangat memukul jiwanya. Lelaki pendiam itu hilang kekuatan. Atau, ah, semoga ia sedang memikirkan cara terbaik mengevakuasi Amara.
Kucoba mengingat saat-saat yang membuat pendakian kami hilang kendali. Dengan harapan semoga menemukan secercah petunjuk untuk menghindari ancaman kematian di belantara.
Setelah menapaki jalur pendakian kurang lebih 6 jam, kami tiba di kawasan hutan heterogen yang sangat lebat. Pepohonan cemara gunung –Casuarina Junghuhnia seolah tegak menunjuk langit. Dahan, ranting dan dedaunan, bersatu padu mencegah sinar matahari jatuh ke tanah. Hutan yang sangat gelap. Bahkan di cuaca yang paling terik sekalipun. Kami merasakan hawa mencekat ketika memasukinya.
Dalam perjalanan memasuki kelebatan hutan, kami berpapasan dengan sosok kakek tua misterius. Tubuhnya kurus. Pakaiannya serba hitam. Kurasa kakek itu penangkap burung. Di tangannya tertenteng sangkar berisi 5 ekor burung jalak.
‘Kalian mau kemana?” tanyanya waktu itu dengan suara serak. Dia kemudian terkekeh hingga dadanya berguncangan.
Amara yang mendaki paling depan menyahutinya dengan mengatakan tujuan kami yaitu mendaki hingga ke puncak gunung. Namun, jawaban Amara membuat wajahnya bermendung.
“Kalian jangan ke sana. Cuaca sedang buruk. Burung-burung saja lebih suka berada di dalam sangkarku daripada beterbangan kesana kemari. Hehehe,“ ujarnya sembari mempertunjukkan isi sangkar. Empat ekor burung berwarna hitam, sementara seekor lagi berwarna merah. Saat itu kusaksikan burung berwarna merah tak lagi bisa terbang. Kurasa sayapnya patah.
“Kurasa cuaca cukup cerah, Kek,” timpal Krisna sambil melempar pandang ke langit, “kalau cuaca memburuk, kami akan turun secepatnya,” lanjut Krisna terdengar lembut. Kami mengiyakan kalimatnya.
“Burung-burung itu kau tangkap dimana?” celetuk Benny dengan kalimat tegas.
“Aku tak pernah menangkapnya. Burung-burung inilah yang datang sendiri ke sangkarku, he-he-he.”
“Tak mungkin,” dengus Benny
“Burung-burung itu seharusnya dilindungi, tak boleh ditangkapi. Menangkapi makhluk hidup sama artinya memangkas kebebasan mereka,” sambung Benny cepat-cepat.