Tiga puluh menit setelah melanjutkan perjalanan, mendadak kabut tebal turun hingga mengganggu jarak pandang. Bebukitan di kejauhan tak nampak lagi. Semuanya lenyap. Perlahan-lahan kami menghadapi situasi yang mengkhawatirkan. Terpapar di padang rumput tak berpelindung. Apalagi kemudian, kulitku merasakan sentuhan kondensasi kabut yang dingin mencekat.
Situasi kemudian berubah drastis. Raut wajah kami menegang menghadapi jarak pandang yang kian pendek. Sinar matahari tak mampu menembus. Angin gunung mulai mengamuk. Wajah Amara memucat, paras Benny panik. Namun Krisna meyakinkan kami agar tetap solid dan bersegera mungkin tiba di shelter selanjutnya.
Mendadak tiupan angin kian kencang. Menampar-nampar. Membuat kami harus berjuang keras menopang keseimbangan tubuh. Topi rimba yang dikenakan Soni lenyap terlempar angin. Matanya terpicing-picing mengatasi deru angin.
“Aku mencium bau air!!” teriak Soni kencang-kencang. Suaranya nyaris lenyap dilarikan angin.
“Semoga tak terjadi badai, Son! Kita pasti berantakan menghadapinya! Disini tak ada shelter alam!” sahutku panik. “Tenda kita tak mungkin mampu bertahan di tempat ini! Pasti dilempar angin!” teriakku sekuatnya.
Baru saja aku selesai berkata-kata, tiba-tiba guntur meledak seratus meter di kananku, menghantam batu cadas, membuatnya hancur berserpih-serpih. Bibirku gemetar ketakutan. Amara menjerit kencang. Telingaku terasa pekak.
Saat itu, terpapar tepat di tengah padang rumput, tak berarti lagi keputusan terus melangkah maju ataukah mundur. Yang penting secepatnya kami harus menemukan perlindungan daripada terbelah petir. Dan perlindungan itu kutahu berada di depan kami, kelebatan rimba belantara yang akan melindungi kami dari hajaran badai secara langsung.
Beban berat membuat langkah tertatih-tatih. Namun, belumlah reda angin, hujan deras datang bergemuruh. Arah hujan seakan menyamping, serupa ratusan anak panah yang menghajar bertubi-tubi tak kenal ampun.
Suhu udara turun drastis secekat-cekatnya. Tubuh basah kuyup, tak punya perlindungan. Yang kutahu, hujan, angin, dan dingin –merupakan pembunuh para pendaki ketika masing-masing unsur berpadu. Windchill. Sejenis kata menakutkan yang para pendaki terhebat pun tak ingin merasakan sentuhan kematiannya.
Tubuhku menggigil tak karuan. Serasa terendam di cairan es. Kulihat Amara, perempuan yang kucintai itu porak poranda. Benny mengumpat-ngumpat. Ia jatuh bangun mengatasi keseimbangan. Soni menggigil. Geraham Krisna menegang melawan gigitan dingin.