JEJAK TERAKHIR

Emil WE
Chapter #4

KEMBALI

Pukul 20.00, hari ini.

Kondisi Amara kian memburuk. Suhu tubuhnya turun drastis. Gerakan bibirnya terus meracau. Upaya yang kami lakukan untuk membuatnya hangat seolah tak berhasil. Dalam situasi menunggu seperti sekarang, yang bisa kulakukan hanyalah berharap keajaiban.

Angin badai tak lagi terdengar. Hujan baru berhenti. Malam dingin mencekat, kesunyian merajalela. Tak terdengar secericit pun binatang hutan di tempat ini. Aneh. Semua seolah membisu. Kami semua terpekur terkalahkan. Antara gentar, takut, nyali yang tersisa tinggal seujung kuku. Kulihat samar-samar dari jendela tenda cemerat cahaya rembulan yang menerobos kelebatan.

Kusodok Soni yang menunduk menggunakan sikutku.

“Son. Badai sudah berhenti,”

“Ap- apa? Apa? Kenapa? Badai berhenti?” gagapnya cepat. Ia setengah sadar.

“Ya. Badai berhenti. Sepertinya langit tak lagi mendung. Kalau memungkinkan, kita lakukan orientasi malam ini menggunakan rasi bintang, besok pagi aku khawatir badai mengamuk lagi,” jelasku. Soni mengangguk

“Kris, badai berhenti. Langit sepertinya cerah.” Soni kemudian menggoyang punggung Krisna.

“Kenapa?! Kenapa? Langit cerah? Kita harus bergerak malam ini.” Krisna berbicara seperti tergopoh. Ia lantas mengajak aku dan Soni keluar tenda, meninggalkan Benny yang tengah meringkuk di pojok tenda.

Kulihat langit sangatlah cerah. Bintang-bintang yang terselip di sela dedaunan berkedip-kerlip. Tapi sayang, kami masih buta dengan situasi sekitar.

“Bagaimana rencanamu?” tanyaku kepada Krisna.

“Begini, kompas kita kehilangan fungsi di tempat ini. GPS kita juga habis batere. Tapi kita masih punya 2 altimeter dan 2 salinan peta kontur, semoga dengan ini kita bisa mencari posisi kita.” Krisna memandangi kami bergantian. Penuh harap.

“Carilah rasi bintang crux si sisi selatan, kemudian kalian plot elevasi yang tertera di altimeter. Kita bisa memprediksi posisi dengan kemampuan bernavigasi ke sisi selatan, sambil menebak rupa kontur.”

“Apa tidak lebih baik kita bagi menjadi dua tim?” usul Soni yang memandang Krisna.

“Ya, maksudku memang demikian. Aku menuju ke sana, dan kalian menuju kesana.” Krisna menunjuk dua arah yang saling berlawanan.

“Carilah tempat yang tak terhalang, kalau memungkinkan di titik tertinggi.”

“Bagaimana dengan Amara? Apa Benny mampu menjaganya,” tanyaku ragu dengan keseriusan Benny menjaga Amara.

“Benny biarlah disini menjaga Amara, kalau perlu-”

“Tidak, Kris!! Tidak!! Aku tak mau tinggal disini! Aku ikut kau!” tiba-tiba dari dalam tenda Benny berteriak.

“Aku tak mau menjaga orang sekarat, Amara tak mungkin selamat,” ujarnya enteng. Entah setan apa yang merasukinya

Aku terbelalak. Soni pun demikian. Ingin cepat-cepat kutarik belatiku dan kutancapkan di mulutnya.

Krisna tak bereaksi. Inilah yang kusayangkan darinya. Krisna tak membela habis-habisan Amara, kekasihnya. Krisna malah nampak dungu serupa monyet menelan karbit.

“Baiklah, kau ikut aku, Ben,” ujar Krisna. Aku terbelalak.

“Kris! Apa-apaan kau!!! Amara tak mungkin sendirian!!!” potongku kalap. Mual rasanya mendengar kata-katanya.

“Amara sudah tak mungkin selamat. Kondisinya terus memburuk. Kemungkinan bertahan hidupnya sangat tipis, Ryan. Saat ini yang penting kita ambil keputusan berdasar skala prioritas. Kita selamatkan yang masih punya harapan. Maafkan aku.”

Darahku menggelegak mendengar kata-kata Krisna. Emosiku mendidih. Kutarik belatiku namun tangan Soni secepatnya mencegahku.

“Tahanlah, Ryan. Tahan. Kita semua dalam kondisi labil. Kumohon, jangan memperburuk dengan emosi.” Soni berkata selembut mungkin.

“Aku hanya tak habis pikir dengan isi otak monyet-monyet ini, Son. Mereka menganggap rendah kehidupan Amara. Anjing!!” suaraku bergetaran melontar emosi. Dadaku terasa sesak. Kini kutahu watak asli Krisna.

“Sekali lagi maafkan aku, Ryan. Hanya saja, di situasi seperti sekarang, kewarasan otak harus menjadi prioritas. Bukannya perasaan.”

“Cukup, Kris!! Simpan mulut sampahmu daripada kusumpal dengan belati!!” Tanganku reflek meraba pegangan belatiku.

“Kumohon, Ryan. Tahan emosimu, sekali lagi kumohon ...” lagi-lagi tangan Soni mencegahku mencabut belati. Kali ini pegangannya lebih kuat.

Lihat selengkapnya