Jejak Tirani

Fanni Silviana Supenda
Chapter #1

PERTEMUAN DAN CERITA

Malang, 2012

Kue basah. Kue kering. Nastar. Lemper. Tentu kalian familiar dengan nama-nama itu? Sama sepertiku. Ternyata pepatah jawa witing tresna jalaran saka kulino itu sangat ampuh atas hidupku yang tak pernah punya banyak pilihan. Saban hari bertemu, dari terpaksa hingga akhirnya sungguh cinta pada kue-kuean.

Kecintaanku pada kue, akhirnya melahirkan sebuah toko kecil, aku lebih suka menyebutnya kedai kue kering. Kini telah berdiri dua cabang kedai, dan cabang ketiga sedang dalam persiapan. Kedaiku cukup digemari di kota Malang, alasannya karena suasana yang nyaman, dengan interior desain yang sengaja kubuat mirip dapur rumah ala skandinavian, tujuanku agar para tamu merasa tak punya batasan dalam memasuki dirinya, saat berada disini.

Kedai kue mirip cafe seperti milikku ini, masih satu-satunya di kota Malang, kotaku yang sedang berkembang. Tak ada gedung yang terlalu tinggi disini, jumlah cafe bisa dihitung jari, penjual kue kering pun menyebar terbatas di deretan pasar besar.

Resep rahasia kue kering milikku? Tak ada! Aku hanya meracik resepnya begitu saja.

***

Panggilan ibadah jum’at siang berkumandang, tepat saat aku masih berkutat dengan kayu dan pernis. Segera kuberanjak ke kamar mandi, dan bergegas menuju tempat ibadah.

Selepas beribadah aku langsung keluar dan mencari sendalku yang tertumpuk oleh sendal lainnya, belum juga kutemukan sandal jepitku, seorang pria asing dengan struktur wajah kotak dan sedikit berjambang, memakai sarung lengkap dengan peci, terlihat berjalan ke arahku.

“Ira..” Bule ini kemudian memanggilku dengan panggilan masa kanak-kanakku. Ah sudah terlalu lama tak seorangpun memanggilku dengan nama itu.

“Anda siapa?” Segera kulayangkan pertanyaan ini untuk mengakhiri teka-teki mengenai sosok pemuda di hadapanku. Sebab semakin kuamati, semakin ku tak mampu mengenali.

“Romi, Romeo. Ingat?” Nama yang tak asing dari suara dan wajah asing ini. Kukernyitkan dahi, mengingat, mengingat, dan.. yaah Romeo, mana mungkin aku melupakannya.

“Ya Tuhan Romi! Nggak mungkin lah aku lupa sama kamu! Kamu kemana aja?” Kutepuk bahunya, bersemangat sekali kembali bertemu dengannya. Romi adalah teman masa kecilku di kampung dulu.

“Belanda Ra. Aku kembali kesana untuk tinggal sama Nenek sejak Ibu meninggal.”

“Turut berduka ya Rom”

“Ah tak apa, itu sudah lama sekali.” Ia bercerita bahwa kedatangannya kemari bertujuan menjual rumahnya yang berada di kota ini. Perbincangan kami melebar kemana-mana, lebih banyak mengenang masa kecil. Tak terasa hampir tiga puluh menit kami berdiri di luar pagar masjid, hingga kuajak Romi -begitu dulu kami semua dikampung memanggilnya- untuk mengobrol di kedaiku.

“Wow.. konsep kedaimu bagus Ra, ini ngingetin aku pas lagi di Polandia, disana ada kedai dengan konsep dapur rumah yang menjual sandwich, ada kue kering juga,” Begitulah reaksi Romi saat pertama melihat kedai, membuatku sedikit bangga.

“Oh ya? Apa nama kedainya?”

“Apa ya? Kukuryku kalau nggak salah. Mirip sekali, hanya saja milikmu ini terasa lebih maskulin dengan adanya kayu-kayu mengkilat ini” ucapnya saat kami melewati pagar kayu rendah berwarna tanah. Kami berlanjut memasuki muka kedai dengan membuka sebuah pintu kayu mengkilat berwarna coklat gelap. Di dalamnya masih berserakan beberapa meja yang terbuat dari susunan bambu, rencananya akan kutaruh berlapis tiga untuk menopang coffee maker custom beraksen kayu. 

Lihat selengkapnya